Sunday, April 13, 2014

Day 13 — Have You?

"Have you ever felt alone, but at the same time you do not want to be with anyone?"

That’s what I have been feeling for these couple of weeks. The feeling I have tried to ignore. Avoiding people has seemed like a good idea, since faking a smile made me tired as hell.

I have been making silence as a habit, and loneliness as a new friend. No friend, and nobody really knows that this smile I have been wearing is only to make me look nicer. Because I know, nobody thinks a desperate person is attractive.

And I do not want to be that person.
But can I? You have taken my smile with you when you left.


April 12
— smileless

Day 12 — Lie I'm Living In

I’m still learning to get used to waking up knowing you’re no longer there to hug.
I’m not doing it well, but I guess practicing has paid its price.
Because no matter how much I still miss you, now I can hold myself from texting you. For me, that’s an achievement.

So if today you see me like I don’t care anymore, it’s because I’m trying to stop hoping.
Hoping that my heart will never skip a beat anymore every time I see your name, your picture, and your face coming to my mind.

I have no idea how long I can survive this lie I’m living in.


April 11
— hopefully hopeless

11 — Sebelah


Aku merindukan hal-hal sederhana seperti menggenggam tanganmu saat kita menyeberangi jalan raya.

Atau saat kita menonton acara televisi tidak penting, kemudian diam-diam jemariku sempurna mengisi celah di antara jari-jari tanganmu.

Juga saat kita tanpa sadar bergandeng tangan sewaktu duduk bersisian di atas sofa di warung kopi.

Dan ketika kau yang sedang duduk menyambut uluran tanganku untuk kemudian kau pegang erat seraya kutarik hingga kau berdiri dan berakhir di pelukanku.

Aku merindukan hal-hal sederhana seperti itu, saat genggaman yang kudapat bukan sekadar jabat sebelah tangan.

Kenapa sekarang kita tak henti menepis sesuatu yang seharusnya kita genggam?


10 April
— sebelah tangan

10 — Tidak Pernah Jauh

Aku kembali terjaga di hari yang berbeda, tetap dengan rasa yang sama seperti hari-hari saat menyampaikan apa yang kurasa padamu tidak serumit ini.

Meski kini mencintaimu tidak semudah dulu, dalam diam mengucap sayang tidak pernah kulewatkan.

Mengenangmu masih tidak sesulit mengendapkan harapan, hanya saja melupakanmu tetap kurasa susah.

Merindukanmu pun tidak pernah jauh dari selangkah menuju rumah, karena engkaulah pulang yang tak akan pernah aku pergi lagi.

Sejauh apapun kau bentang jarak, aku mendekat.


Sembilan di Bulan Keempat 
— untuk yang selalu jadi kesayangan

Day 9 — Something Right

There will never be enough words to describe how much love I actually have inside my heart.
Too much that sometimes I think it’s wrong.

But there’s nothing wrong about something right, right?
All I feel is, that it feels so right, even if you left.


April 8
— to my baby

Monday, April 7, 2014

Day 8 — The Game

This little game of love we play is now becoming the waiting game.
Waiting for who’s going to fall first, waiting for who’s going to hurt first, and waiting for who’s going to leave first.

I win. Only to lose.

Day Seven — Seven Days

It’s been a week.

Seven days of struggling and surviving.
Seven days of trying to start a new beginning without really knowing the end.
Seven days of desperation, frustration, and expectation. 
Seven days since you asked me to leave and stop fighting.

Does a week make a change? It probably does.
So far, I’ve learned to live without hoping when I’m not missing you.
And when I’m missing you, I just breathe.
It gets harder everyday, but it works.

I know you’re not mine.
But you’re my reason.
My reason to believe that no matter how hard I try to stop myself from loving, I have no other way than to let it grow.

Starts right from the moment I wake up in the morning, until I close my eyes at night.
Every day.

It’s been seven days.
And for every day, one letter.


— April 6

Saturday, April 5, 2014

Day 6 - Like We Wish

I guess loving is one way to accept why things do not go like the way we expect them to be.

If we are not in love, we will probably just ignore. We do not even care to accept and let go. But we are in love, that’s why no matter how disappointed we get because of the rejection, we always try to find the way to believe that we cannot always have what we want.

Sadly, the ones we love do not always see that way like we wish they would.


— April 5

Friday, April 4, 2014

Day 5 - That Voice

It’s the fifth day after the rejection.
Not even a week yet.

I whisper to myself:
“Why should today be worse than yesterday?”

That little voice in my head answers:
“Because it gets harder everyday knowing that the more day goes on, the more you get apart.”

I smile bitterly. Maybe tomorrow this hope will finally go away. Maybe.

Thursday, April 3, 2014

Day 4 - Just Another Day

Waking up this morning, nothing was new.
You were still the one coming to my mind right after I opened my eyes.

I tried to smile, though.
And I whispered to myself, “It’s just impossible to wake up in the morning and stop loving someone.”.

So I let my mind take me to everywhere it goes.
It’s just another day. I’m sure I can survive it.


— April 3rd

Wednesday, April 2, 2014

Hari Tiga - April 2nd

"Mungkin cuma bercanda."
Kataku dalam hati, ke diri sendiri.

"Ah iya, pasti ini hanya bercanda."
Kataku lagi, meyakinkan diri bahwa penolakan yang kudengar darimu adalah tak lebih dari lelucon belaka.

"Hahaha… Dasar kamu, kali ini berhasil mempermainkanku."
Aku tertawa dalam hati sambil membayangkan ekspresi jahil di wajahmu.

Senyumku masih mengembang saat sekilas kulihat jam dan tanggal di layar telepon genggamku.

Tanggal 2 April. 
Hari berganti.
April Mop sudah lewat.

Tuesday, April 1, 2014

Hari Dua - Siapapun Yang Menjadi Kekasihmu Nanti

Siapapun yang menjadi kekasihmu nanti, aku yakin dia akan menyayangimu seperti aku menyayangimu.
Mungkin lebih.
Karena dia akan lebih punya banyak waktu untukmu. Dia juga akan ada setiap saat kau butuh. Dia bisa menemanimu dalam perjalanan tanpa rencana. Dia mencintaimu tanpa terhalang jarak.

Siapapun dia yang kelak mendampingimu setelahku, aku yakin dia akan menjagamu seperti aku menjagamu.
Bahkan lebih.
Karena dia akan selalu ada di sisi kanan tempat tidurmu. Dia juga yang akan memelukmu sepanjang malam. Dia bisa menjagamu tetap lelap dalam hangat raganya.

Siapapun yang kau cintai setelah kepergianku, selalu akan lebih baik dariku.
Karena aku hanya bisa mengucap sayang lewat pesan singkat. Aku hanya bisa menemanimu lewat suara di seberang telepon. Aku hanya bisa memelukmu dalam gambar tak bergerak. Aku hanya bisa menjagamu dalam jeda. Aku hanya bisa mencintai semampuku menghapus jarak.

Siapapun yang menjadi kekasihmu nanti, dia juaranya.


Hari Satu - Izinkan Aku Sekali Lagi

Aku datang.
Bukan untuk memintamu kembali. Bukan juga untuk
berpanjang lebar menjelaskan alasan-alasan atas
perbuatanku padamu. Aku datang dengan mencoba tidak membawa serta pengharapan. Meski itu berarti membohongi diriku sendiri. Karena seribu kalipun aku berkata bahwa aku telah berhenti berharap, harapan itu selalu ada.

Aku hanya ingin memelukmu sekali saja, untuk terakhir kali. Sekali saja sepanjang hari.
Aku hanya ingin memelukmu dalam diam. Dalam diam sepanjang malam.

Karena betapa keras aku berjuang, aku akan tetap kalah dalam perang. Izinkan aku memelukmu, bukan untuk sekali lagi berjuang, tapi untuk terakhir kali sebelum aku benar-benar menghilang.


A Long March
— lifeless

Monday, March 3, 2014

A Happy Friend

Hai, Bets.

Jadi, saat kau terima surat ini, kau sudah sah sebagai seorang istri. Bagaimana rasanya, Bets? Aku yakin aku akan bisa merasakan bagaimana bahagianya kamu di surat balasanmu nanti.

Sedih membayangkan kau menikah.
Bukan karena bukan aku yang mengucap ijab kabul. Bukan juga karena bukan aku yang di sampingmu di depan penghulu. Sedih saja, karena tidak ada aku di deretan mereka yang duduk bersila dalam mesjid turut menyaksikan ikrar sakral antara dua orang yang saling mencinta.

Semoga doaku sampai ke kalian, Bets.
Kudoakan kalian saling jatuh cinta sejak kalian membuka mata saat pagi dimulai, hingga merebahkan diri dalam tidur saat malam tiba.

Jatuh cintalah setiap hari, Bets.


March 3,
— a happy friend

Saturday, March 1, 2014

Dear Past

Dear Past,
I once knew a girl I put on the top of my priority. The one I thought I would end up with forever, but at the same time the one I wasn't sure to be with together.

Because I was afraid that spending the rest of my life would only give me more time and more chance to hurt.

Dear Past,
The idea of you always looks wonderful, but no matter what I do, you will only stay there and last as an idea.

Dear Past,
I'm glad you were there.
I'm glad you were part of my life once.
I'm more than glad that you came in an entity of a woman I treasure:
Dear Bets.


March 2
- your has been future

Thursday, February 27, 2014

Lebih Dari

Dear Bets...

Aku ingin sekali melihatmu memakai kebaya yang kau ceritakan dalam suratmu.
Karena dulu, aku sempat membayangkan bahwa suatu hari aku akan berdecak kagum melihatmu berjalan menaiki tangga masjid dibalut kebaya keemasan.

Sekarang, tak lama lagi, mungkin bayanganku itu akan terwujud. Decak kagum dan rasa haru akan kurasakan saat akhirnya melihatmu berjalan ke pelaminan. Melihatmu tampak depan, kemudian melihatmu tampak belakang saat pandanganku mengekorimu hingga kau tiba di kursi pengantin. Tapi aku tak akan bisa melihatmu dari samping dengan ekor mataku. Karena bukan aku yang berjalan di sisimu, dan menyamai langkahmu pelan-pelan.

Duduk di kursi undangan pun sepertinya terdengar menyenangkan. Aku akan pulang untuk itu, Bets. Aku tidak mau melewatkan hari bahagiamu dengan menerka-nerka bagaimana. Aku ingin ada di sana.

Ada di sana, untuk melihatmu bahagia.
Untuk turut mendoakan.
Bukan doa restu. Karena menurutku, seorang mantan tidak layak memberikan restu. Cukup doa saja.

Meski di mataku, kau lebih dari sekadar mantan.


27 Februari
— turut mendoakanmu

Tuesday, February 25, 2014

Sempat Erat

Dear Bets,
Aku di Paris sejak akhir pekan kemarin. Maaf lupa menceritakannya padamu. Aku terlalu sibuk menikmati romantisnya kota ini. Juga sedikit sibuk berwisata kuliner. You know, the famous French cuisine. So far, I've had French Toast, French Fries, and a little bit of French Kiss.

No, I was kidding. Kau tahu aku, candaan tidak lucuku yang sering kau tertawai karena saking garingnya, bukan karena lucunya. Well, at least I got your laugh. Your beautiful laugh.

Masih sering tertawa, Bets?
Apakah dia sering membuatmu tertawa? Dia pria yang lucu kan, seingatku begitu. Aku tidak sabar untuk bertemu kalian berdua. Nanti saat kita bertemu, kau adalah seorang istri. Bukan lagi dirimu yang dulu kukenal. Tapi hal itu tak akan mengubah dirimu, kan?

Tetaplah jadi seorang perempuan baik hati dan menarik, seperti dirimu yang kukenal selama ini.

Kau beruntung, Bets.
Dan dia lebih beruntung, telah memenangkan hati seorang perempuan sepertimu.

Aku tidak sedang cemburu.
Aku hanya mensyukuri apa yang sempat aku punya.
Aku bersyukur atas apa yang tidak lagi kumiliki.

Aku memang sempat menggenggam tanganmu erat, tapi dia memelukmu lebih hangat.

Semoga dilancarkan, Bets.


February 25,
— a stranger in Paris

Sunday, February 23, 2014

Tapi Nanti

Dear Bets...
Pernah terpikir tidak, kenapa rangkaian surat kita makin ke sini, yang dibahas makin berat saja? Kenapa dulu kita jarang sekali seperti ini, bicara panjang lebar dari hati ke hati, menyuarakan hal-hal yang mungkin kita pendam saja? Atau mungkin karena kita dulu sudah terlalu nyaman dengan yang kita rasa, dengan apa yang ada antara kita? Mungkin.

Begitu nyamannya aku bersamamu dulu, hingga aku lupa untuk bicara tentang kejujuran hati. Aku sibuk menikmati saat kita saling bercanda, tertawa, berbagi cerita tentang hal-hal yang kita alami saat sedang tidak berdua. Aku menikmatinya, sangat. Apa yang pernah ada dulu adalah saat-saat menyenangkan. Tidak pernah tidak kukenang dengan indah.

Tapi aku lupa, bahwa tidak selamanya membohongi diri sendiri itu akan berjalan sempurna.

Kini, aku sudah jujur kepada diriku sendiri. Nanti, akan kuceritakan padamu tentang kejujuranku.
Tapi nanti, setelah kuhabiskan secangkir kopi yang mengingatkanku padamu.


February 23,
— honesty's new friend

Friday, February 21, 2014

Dua Kepingan

Dear Bets,
You still love puzzles, don't you?

Membaca suratmu membuatku membayangkan bahwa kita adalah dua kepingan permainan acak gambar. Dua kepingan yang pas saat disatukan, namun tidak saling melengkapi. Saat kita bersatu, kita tidak menghasilkan gambar yang seharusnya muncul saat semua kepingan terpasang. Ada masa saat kita akhirnya menemukan kepingan lain yang tidak hanya cocok disatukan, tapi juga saling melengkapi. Dengan kepingan lain itu, tergambar kesesuaian yang sudah seharusnya.

Kurasa kau sudah menemukan kepingan lain itu. Kuharap gambar yang tersusun pun memang sesuai dengan yang kau kehendaki.

Dan kita, akan selalu bisa menjadi dua kepingan yang menyusun gambar berbeda. Akan ada masa saat kita akhirnya saling melengkapi, dalam gambar yang oleh siapapun melihatnya, mereka melihat persahabatan.

Dan bila saat itu tiba, kupastikan itu adalah gambaran terbaik tentang dua orang yang pernah saling mencinta.


February 21
— your other puzzle's piece

Wednesday, February 19, 2014

Silly Sunflower

Dear Bets,
Aku menulis surat ini dengan terburu-buru. Aku ketinggalan pesawat sore, dan akhirnya terpaksa pindah ke penerbangan terakhir malam ini.

Penerbangan terakhir.
Saat aku meninggalkan Indonesia pun aku sempat ketinggalan pesawat, untung saja maskapai yang kugunakan saat itu bersedia mengubah jadwal penerbanganku ke penerbangan terakhir.

Tentu saja kau tidak tahu itu.
Tentu kau tidak tahu kenapa saat itu aku bisa terlambat. 

Satu lagi cerita aku kuak untukmu.
Hari itu, sedari siang aku di depan kantormu. Menunggu kesempatan lain untuk melihatmu sekali lagi. Aku menunggu di kafe depan kantormu, dengan bercangkir teh, dan kopi. Tapi aku tidak pernah melihatmu. Tidak sama sekali.

Aku tahu aku akan terlambat jika menunggumu hingga jam pulang kerjamu tiba. Jadi, aku cuma bisa menitip pesan dan salam untukmu.

Kau ingat ada sebuah vas bunga besar dengan bunga matahari tiba di mejamu?
Konyol sekali, bunga matahari dalam vas yang lebih pantas disebut guci.

Itu dariku.
Sebentuk salam dariku yang penuh syarat kutitipkan ke dia.

Iya Bets, aku mengenal dia.


February 20,
— silly florist

Monday, February 17, 2014

Bukan Kita

Dear Bets,
Ada satu yang kau (mungkin) tidak tahu. Sesuatu yang tidak sempat, dan tidak pernah kusampaikan padamu. Pada satu titik saat aku memutuskan untuk menuju arah berbeda dari jalan yang kita tempuh bersama, aku berhenti. Aku mencoba meyakini satu hal yang tidak pernah kuyakini sebelumnya: mengikatmu dengan janji resmi.

Saat-saat bersamamu adalah saat-saat bahagia. Bersamamu kudapat manisnya perhatian, tapi getirnya pikiranku tak pernah pergi. Kala menghabiskan waktu denganmu, kudapatkan bahagianya tertawa, tapi lirihnya desahan gelisah jiwaku tak pernah hilang.

"There is no room for anyone else.", katamu.
"There was no room for anyone else.", katamu juga.
Bagiku, "There was never a room for us."
Mungkin terdengar menyakitkan, mungkin terdengar sombong, mungkin terdengar egois. Tapi menurutku, mungkin tidak.
Mempertahankanmu, justru adalah hal paling egois yang kulakukan. Karena itu, aku melepasmu.

Ada yang salah dengan kita?
Iya.
Apa yang salah dengan kita?
Tentu saja, karena ada "aku" di dalam "kita" itu.

Dear Bets,
Aku merindukan kamu, bukan kita.


February 17
— a selfish has-been of yours

Saturday, February 15, 2014

Best Actor

"Kamu telah menunjukkan kepadaku begitu banyak kemungkinan dalam hidup. Dan kamu pernah membuat aku tersenyum, kamu pernah membuat aku bahagia, kamu juga pernah membuat aku sedih. Tapi di atas semua yang pernah terjadi atasku mengenai kamu, kamu pernah membuat aku mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah melupakan itu."

Dear Bets,
Akan kusimpan kutipan di atas yang kudapat dari tulisan dalam surat terdahulu. Surat terakhirmu yang kubaca berkali-kali, dan selalu terhenti saat aku sampai di penggalan kalimat-kalimat itu.

Betapa kamu yang dengan deretan kata sederhana kembali menggugah emosiku. Kamu dengan gambaran sederhanamu mampu memainkan kembali beragam adegan kilas balik dari satu babak kisah hidupku.

Tidak pernah aku menoleh ke belakang sejauh ini. Tidak, sejak aku akhirnya berhasil belajar membiabesakan diri bahwa di hari-hariku tak ada lagi kamu.

Tapi hidup bukan tentang kisah lama saja, kan? Saat satu drama selesai, panggung kehidupan selalu siap mementaskan satu pertunjukkan lainnya. Dengan kisah lain, mungkin dengan pemain yang sama, atau dengan pendatang baru.

Kalau kali ini drama kita diangkat kembali ke layar lebar, kita masih jadi bintang utamanya. Dengan pendatang baru yang tak kalah mencuri perhatian penonton. Aku mungkin akan memenangkan Oscar untuk Best Actor. Jangan heran, bersandiwara kan memang hal yang selalu kulakukan dari hari ke hari.

Apakah menurutmu saat ini pun aku sedang bersandiwara, Bets?


February 15,
— on a long and winding road

Thursday, February 13, 2014

Yellow Traffic Light

"...tidak mau kehilangan lelaki luar biasa untuk kedua kalinya."

Dear, Bets...
Membaca kalimat itu dalam suratmu yang lalu, aku terdiam. Kamu kehilangan aku. Kamu ternyata benar kehilangan aku. Aku sedikit sedih dan menyesal mengingat bahwa ternyata saat aku memutuskan untuk menjauh, aku membuatmu kehilangan.

Bets, mungkin sudah jalannya begini ya.
Ujung jalan yang sempat kita tempuh berdua, mengarah ke sini. Meski jalan itu adalah jalan yang kubuat sendiri. Di jalan yang kita susuri bersama, tanpa sepengetahuanmu telah kupasang rambu berhenti. Rambu berhenti yang akhirnya kulanggar sendiri. Kamu berhenti di rambu itu, sementara aku melanjutkan jalanku.

Tidak pernah terpikir olehku bahwa kau akhirnya akan menemukan rambu putar balik. Rambu yang dengan setiamu, kau patuhi. Kau berbalik arah, kembali ke tempat semula. Hingga akhirnya kau memilih jalan lain untuk kau susuri, bersama yang lain.

Bila suatu hari aku kembali menyusuri jalan yang dulu kita lewati, akankah jalan itu memotong jalanmu?
Mungkin kita akan bertemu di persimpangan.
Persimpangan penuh rambu, lengkap dengan lampu lalu lintas.

Mungkin kita akan sama-sama berhenti di arah berlawanan, menunggu lampu hijau menyala.
Atau mungkin lampu kuning yang tak henti berkedip?


February 13,
— di persimpangan Abbey, maybe.

Tuesday, February 11, 2014

English Muffin dan Setumpuk Tentangmu

Bets, or should I call you Elizabeth, like the Queen of England?
Dear Bets, aku sudah di London. Sudah di London!
Everyone speaks in British accent here. Ya iya lah...
Entah kenapa, mendengar orang berbicara dalam aksen British kental memberi kesan berbeda di telingaku. Sepertinya, semua yang mereka katakan terdengar lebih indah. Meskipun hal yang dibahas sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.

Kau ingat kan, dulu aku sering bicara bahasa Inggris dengan aksen sok British, tapi selalu kau tertawakan karena menurutmu aksenku lebih mirip aksen Madura? You know what, sekarang aku pun jadi merasa begitu. Gara-gara kamu, tiap kali aku dengar orang sini berbicara, aku membayangkan aksen Madura.

Bets, aku rindu saat-saat kau menertawai aku. Aku kok tidak pernah marah, ya? Malah ikut tertawa. Harusnya aku sesekali ngambek. Memangnya kamu saja yang bisa keras kepala dan ngambek? Aku harusnya juga bisa begitu. Tapi aku tidak pernah bisa. Kalau aku ikutan keras kepala, siapa nanti yang bisa melunakkan kita.

Bets, aku menulis surat ini di sebuah tea shop pinggir jalan entah apa namanya. Di depanku ada dua cangkir. Satu berisi earl-grey tea, satunya lagi simple capuccino. Aku sendirian, ditemani sebuah English Muffin dan setumpuk kenangan tentangmu.

Kau akan menjalani hidup baru tak lama lagi. Memang bukan aku yang di sampingmu saat hari itu tiba.
Tapi aku akan ada di belakangmu.
Menggenggammu dalam doaku.
Menggenggamnya di sebelah tanganku.


February 11,
— not winter, not spring yet

Sunday, February 9, 2014

Dia Siapa

Bets, do you know?
Aku sudah mengunduh semua lagu yang kau sebut di suratmu yang lalu.
Aduh, lagunya ajaib-ajaib ya.
Aku bahkan tidak tahu, apakah aku menyukai lagu-lagu itu atau tidak hahaha...
Tapi aku putar berkali-kali, kok.
Memangnya sekarang trend lagu di Indonesia adalah yang seperti itu? Unik ya.

Unik, dan sangat Indonesia. Aku sudah menyimpan lagu-lagu itu di pemutar musik-ku. Lumayan untuk menjadi pengingat tentang kampung halamanku saat aku menjelajah belahan dunia lain.

Bets, besok pagi aku berangkat menuju London. Aku sangat bersemangat dan ingin segera berada di sana. Sepertinya akan banyak yang bisa kuceritakan padamu nanti.

Aku ingin menikmati waktu minum teh di Inggris. Seperti yang dulu sering kita lakukan, minum teh sore-sore sambil menikmati gorengan tak bergizi.
Aku rindu gorengan khas Indonesia.
Aku juga rindu obrolan tak penting kita saat minum teh sore-sore.
Obrolan tak penting dalam bahasa Inggris campuran, sambil berpura-pura bahwa kita bangsawan Inggris dan masih bersaudara dengan Ratu Elizabeth.

Nanti kita minum teh bersama lagi ya. Meski yang kau minum secangkir kopi.
Kau ajak dia, yang entah siapa belum kukenal.
Aku pun akan mengajak dia.
Dia siapa?

Pun belum saatnya kau tahu.


February 9th,
Cold Afternoon.

Friday, February 7, 2014

Sekadar Mengingat

Bets, I just downloaded that "Kereta Malam" like you told me to in your letter.
Astaga, itu lagu apa?
Asing di telinga, tapi membuat goyang-goyang kepala saat didengar.
Aku jadi kangen Indonesia.

Kangen rumah.
Kangen teman-teman di sana.
Kangen kamu pun.

Kangen masa lalu?
Hehe... aku selalu mengingat masa lalu, tetapi sekadar mengingat, tanpa rindu.
Bukannya tidak menghargai apa yang sudah terjadi. Hanya saja, masa lalu lebih sering membuatku gundah.
Kisah pahit di masa lalu, tak ada gunanya dirindukan.
Kisah bahagia di masa lalu, tak akan bisa lagi diulang.

Seperti katamu.
Seindah apapun, masa lalu yang direka ulang, tak akan seindah yang dulu.

Tapi aku ingin memperbaiki apa yang kurusak di masa lalu.
Dengan kisah baru, bukan reka ulang.

Termasuk kisahku denganmu dulu.

Sambut aku jika saatnya tiba.


February 7
— a week before Valentine

Wednesday, February 5, 2014

Sebelah Penopangmu

Morning, Bets...
Aku menulis surat balasan ini pagi-pagi, tak lama setelah aku terbangun dan bengong-bengong saja. Bingung kenapa aku bangun sepagi ini. Padahal hari ini aku tidak ada rencana apa-apa. Semua barang yang akan kubawa, sudah aku kemasi. Sebagian kujual ke teman-teman. Sebagian lagi kuberikan gratis saja ke rekan-rekan sesama mahasiswa Indonesia.

Sebenarnya aku sempat berniat pulang dulu ke Indonesia, tapi aku khawatir kalau sudah di sana, aku jadi malas berpergian lagi. Makanya kuputuskan untuk langsung jalan-jalan saja.

Terdengar enak ya? Aku jalan-jalan melulu? Aku menabung sih, rela hidup prihatin di sini, demi impian menyinggahi Eropa. Yah, meskipun nanti jalan-jalan pun aku jalani dengan sangat sangat hemat. Jalan-jalan yang akan literally benar-benar "jalan".

Oh iya, bicara tentang jalan-jalan, jadi ingat kau mengistilahkan kita sebagai sepasang "kruk". Kau tahu, aku jadi ingat lirik lagunya "Phillips Phillips" yang berjudul "Gone, Gone, Gone". Liriknya begini:

"You're my crutch when my legs stop moving."

Yang aku ingin tahu, apakah selepas kepergianku, kau bisa kembali berjalan?


February 5th
— Your once half crutch.

Sunday, February 2, 2014

Secangkir Juga Untukku

Hi, Bets...

Terima kasih sudah membalas suratku. Aku senang kau memutuskan untuk kembali bertegur sapa denganku, meski hanya lewat tulisan.
Aku mengerti bahwa untuk kembali menerima aku ke kehidupanmu itu tidak mudah. Aku, si orang hilang, tiba-tiba saja datang lagi. Kau bisa saja mengacuhkan aku, tapi kau tidak melakukannya. Ternyata kau masih sama dengan yang dulu kukenal.

Masih jadi penikmat kopi? Kau benar-benar tidak berubah ya. Aku dari dulu hingga sekarang masih tidak terlalu menikmati kopi. Di Jepang, itu bukan masalah, kau ingat kan kalau aku memang lebih suka minum teh. Itu satu dari sekian ketidaksamaan kita.

Ketidaksamaan. Lucu ya, aku ingat dulu kau sering mengkritik aku karena aku sering menggunakan istilah negatif dalam berbahasa. Entahlah, aku bisa saja bilang "perbedaan", bukan "ketidaksamaan", tapi aku tanpa sadar menggunakan istilah negatif. Kata "tidak", dan "bukan" adalah 2 kata yang tanpa sadar seiring waktu jadi kata favoritku.

Lucunya lagi, aku menyadari hal itu saat "tidak" dan "bukan" tak lagi hanya sekadar kata yang kugunakan. Keduanya seolah menjadi karakterku. Iya, mungkin kau pun tahu itu. Sebelum aku pergi, berulang kali aku mencoba membuang pikiran-pikiran negatif bahwa kita tidak sama; bahwa kita bukan untuk bersama.

Tapi, aku sadar, bahwa menyimpan ragu itu pertanda. Sebelum apa yang kita jalani jadi semakin tidak menyenangkan, aku memilih untuk mundur. Sebelum aku menyakitimu lebih dari yang bisa kau tahan, aku pergi.

Kenapa aku ragu? Itu masih rahasia, antara aku dan prinsipku.

Aku bicara terlalu banyak ya? Maaf.
Oh iya, terima kasih telah memperjelas kabar yang kudengar.
Aku bahagia.
Bahagia membayangkan akhirnya namaku tertulis di undangan itu.

Kopimu sudah dingin? Buatlah secangkir lagi, yang hangat.
Buatkan secangkir lagi untukku, kurasa aku sedang ingin menikmati kopi.
Kabari aku lagi, Bets...



3 Februari — Masih di Tokyo
The wind here is still too strong.


PS: Ini minggu terakhirku di Jepang, weekend ini aku berangkat eurotrip, kau mau oleh-oleh apa?

Friday, January 31, 2014

Masih?

Dear Bets,

Hai, apa kabar?
Iya, silakan kaget dan menerka-nerka alasan kenapa kau bisa menerima suratku ini.
Sudah lama ya, sejak terakhir kita bertegur sapa. Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas, kapan persisnya kita bertukar kata.

Masih marah kepadaku?
Aku paham. Wajar saja kok.
Meninggalkanmu tanpa alasan jelas, apa ada yang bisa membuatmu benci padaku lebih dari itu?
Mungkin tidak.

Masih kurang banyak maafku?
Pertanyaan bodoh ya. Tentu saja berapa ribu kali pun aku meminta maaf, tak bisa menghapus kecewamu.
Eh, atau mungkin aku saja yang berpikir begitu? Mungkin saja kamu tidak lagi peduli, atau bahkan memang tidak pernah peduli semenjak aku melangkah pergi darimu.

Masih ingat padaku? Pada kita?
Mungkin ini terkesan tak tahu diri. Tidak pantas mempertanyakan apakah aku masih melintasi pikiranmu. Rasa ingin tahu yang membuatku ingin bertanya.
Karena aku mengingatmu, itu saja,
Tidak selalu. Tapi aku mengingatmu.
Aku mengingatmu.
Tiap kali aku mempertanyakan keputusanku atas langkah yang telah kupilih ini.
Kau tahu? Sampai hari ini pun aku masih bertanya-tanya.

Masih menerka-nerka alasan aku menulis surat ini?
Aku mendengar kabar tentangmu.
Itu alasannya.

Kabari aku tentangmu, darimu. Bukan dari yang sekadar kudengar.


Tokyo, February 1st.
It's still cold in here.