Bets, or should I call you Elizabeth, like the Queen of England?
Dear Bets, aku sudah di London. Sudah di London!
Everyone speaks in British accent here. Ya iya lah...
Entah kenapa, mendengar orang berbicara dalam aksen British kental memberi kesan berbeda di telingaku. Sepertinya, semua yang mereka katakan terdengar lebih indah. Meskipun hal yang dibahas sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.
Kau ingat kan, dulu aku sering bicara bahasa Inggris dengan aksen sok British, tapi selalu kau tertawakan karena menurutmu aksenku lebih mirip aksen Madura? You know what, sekarang aku pun jadi merasa begitu. Gara-gara kamu, tiap kali aku dengar orang sini berbicara, aku membayangkan aksen Madura.
Bets, aku rindu saat-saat kau menertawai aku. Aku kok tidak pernah marah, ya? Malah ikut tertawa. Harusnya aku sesekali ngambek. Memangnya kamu saja yang bisa keras kepala dan ngambek? Aku harusnya juga bisa begitu. Tapi aku tidak pernah bisa. Kalau aku ikutan keras kepala, siapa nanti yang bisa melunakkan kita.
Bets, aku menulis surat ini di sebuah tea shop pinggir jalan entah apa namanya. Di depanku ada dua cangkir. Satu berisi earl-grey tea, satunya lagi simple capuccino. Aku sendirian, ditemani sebuah English Muffin dan setumpuk kenangan tentangmu.
Kau akan menjalani hidup baru tak lama lagi. Memang bukan aku yang di sampingmu saat hari itu tiba.
Tapi aku akan ada di belakangmu.
Menggenggammu dalam doaku.
Menggenggamnya di sebelah tanganku.
February 11,
— not winter, not spring yet
Dear Bets, aku sudah di London. Sudah di London!
Everyone speaks in British accent here. Ya iya lah...
Entah kenapa, mendengar orang berbicara dalam aksen British kental memberi kesan berbeda di telingaku. Sepertinya, semua yang mereka katakan terdengar lebih indah. Meskipun hal yang dibahas sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.
Kau ingat kan, dulu aku sering bicara bahasa Inggris dengan aksen sok British, tapi selalu kau tertawakan karena menurutmu aksenku lebih mirip aksen Madura? You know what, sekarang aku pun jadi merasa begitu. Gara-gara kamu, tiap kali aku dengar orang sini berbicara, aku membayangkan aksen Madura.
Bets, aku rindu saat-saat kau menertawai aku. Aku kok tidak pernah marah, ya? Malah ikut tertawa. Harusnya aku sesekali ngambek. Memangnya kamu saja yang bisa keras kepala dan ngambek? Aku harusnya juga bisa begitu. Tapi aku tidak pernah bisa. Kalau aku ikutan keras kepala, siapa nanti yang bisa melunakkan kita.
Bets, aku menulis surat ini di sebuah tea shop pinggir jalan entah apa namanya. Di depanku ada dua cangkir. Satu berisi earl-grey tea, satunya lagi simple capuccino. Aku sendirian, ditemani sebuah English Muffin dan setumpuk kenangan tentangmu.
Kau akan menjalani hidup baru tak lama lagi. Memang bukan aku yang di sampingmu saat hari itu tiba.
Tapi aku akan ada di belakangmu.
Menggenggammu dalam doaku.
Menggenggamnya di sebelah tanganku.
February 11,
— not winter, not spring yet
No comments:
Post a Comment