“Hey, my name’s Joe. And I’m butchy.”
Atau,
“Hai, gue Joe.
Gue butchy.”
Joe. Begitu saja, cara perkenalan favoritku setiap bertemu dengan orang baru.
Joe. Itu saja. Tanpa embel-embel lain,
tanpa gelar ini dan itu, tanpa Raden Mas apalagi Raden Ayu. Orang-orang tidak perlu tahu nama panjangku,
nama yang bahkan aku saja lupa. Cuma ibu yang biasa memanggilku dengan nama
panjang pemberiannya itu. Selain beliau yang memanggil, aku tidak akan menoleh.
Bukan karena aku tidak mau, tapi memang aku sudah berada dalam tahap tidak lagi
ingat nama lengkapku.
Dari kecil, aku sudah dibilang tomboy. Semua bilang begitu. Aku sih diam saja,
tidak peduli. Entah kenapa orang-orang menjuluki aku “si tomboy”, apa hanya
karena aku tidak suka memakai rok dan baju yang indah berwarna-warni? Atau
karena aku tidak suka bermain boneka dengan teman-teman perempuan? Atau kah karena aku selalu menolak setiap ibu
mencoba menguncir rambutku dan menghiasnya dengan pita, bando, serta
pernak-pernik centil lainnya? Lantas, apa
hanya karena aku lebih nyaman memakai celana panjang dan kaos hitam atau hanya
karena aku lebih suka memanjat pohon dan bermain layangan, aku jadi pantas
dibilang tomboy? Entahlah. Definisi tomboy itu bagiku tidak jelas. Aku hanya
melakukan apa yang aku suka, bukan yang orang suka. Kalau hal itu membuatku
tampak “berbeda”, biarkan saja. Bagiku, “berbeda” itu lebih baik daripada
tampak “sama”. Bukankah menjadikan
perbedaan itu anugerah bisa membuat kita yang biasa menjadi sedikit istimewa?
Aku, Joe. Usia 20-an, lulusan D3 jurusan mainstream,
dengan nilai memuaskan. Paling tidak bagiku cukup memuaskan, lagi pula yang
penting bagiku adalah melihat ibu senang karena akhirnya aku berhasil
menyelesaikan pendidikan diploma dengan masa perkuliahan yang diperpanjang
hingga menyamai jenjang strata 1. Lulus
dari kuliah, aku tidak terlalu lama menganggur.
Sejak setahun lalu, aku mempunyai pekerjaan yang layak dan kuanggap
cukup keren. Aku bekerja di salah satu coffee
shop lokal ternama, bertemu dengan banyak ragam manusia tanpa harus
berpura-pura menjadi jenis manusia yang bukan diriku sendiri. Aku suka pekerjaanku karena aku bebas bergaya
dan berpakaian sesuai panggilan jiwaku, tidak seperti rekan-rekan waitress lainnya yang mesti mengenakan
kostum ala gadis dari negeri kincir angin lengkap dengan rok hitam panjang dan
sepatu kayu sintesis. Rekan-rekan
sekerja bisa menerima aku apa adanya. Atasanku pun tidak pernah mencoba
mengatur gaya dan pandangan hidupku. Penghasilanku bisa dibilang cukup. Tentu
saja cukup, karena aku tidak terlalu peduli akan hal-hal manusiawi. Dengan apa
yang aku dapat dari pekerjaanku, aku tetap bisa menjadi diriku sendiri, itu
yang paling penting.
Hidupku? Cukup
menyenangkan. Tak ada persoalan hidup yang berarti selama kita mampu bertahan
untuk tidak peduli. Saat ini, meski aku kerap sendirian menjalani hari-hariku,
aku merasa hidup cukup adil. Aku bisa
mandiri, aku tidak lagi merasa hanya menjadi beban bagi satu-satunya orang tua
yang aku punya: ibu. Saat ini, aku tidak
lagi tinggal bersama ibu. Aku memilih
untuk menyewa kamar 3x3 m tak jauh dari tempatku bekerja sekarang. Sesekali aku mengunjungi ibu saat aku sedang off bekerja, menghabiskan sore di teras
rumah yang berhiaskan rumpun lidah mertua kering, sambil menikmati pisang goreng ala-ala banana fritter sebagai cemilan dan berkhayal seolah-olah kami
adalah dua bangsawan Inggris yang dengan elegannya sedang menikmati waktu minum
teh tubruk. Aku selalu menikmati setiap
momen tersebut, walaupun sering kali waktu soreku yang berharga itu dihabiskan hanya
untuk mendengarkan ibu berceloteh dengan nada cempreng khas beliau, lengkap
dengan intonasi meninggi nyaris histeris, menyampaikan cerita-cerita tidak penting dan tidak menarik serta keluh kesah
beliau tentang hidup. Tentang hidupnya,
bukan hidupku.
Aku memang selalu mencoba merasakan nikmatnya saja dari hidup yang kujalani,
tapi di sela-sela santainya aku menjalani hari demi hari dalam kehidupanku yang
datar ini, tetap ada satu hal mengganjal dan sering mengganggu pikiranku, satu
hal yang sepertinya jadi masalah bagi semua orang, termasuk bagi orang seperti
aku: asmara. Sejak melewati masa puber yang
kelam dan penuh rasa penasaran tak terlampiaskan hingga masa sekarang (yang
ternyata tetap kelam dan penuh rasa penasaran tak terlampiaskan juga), aku
belum pernah menjalin hubungan dengan orang yang aku cintai. Sesekali dekat
dengan seseorang, tapi selalu berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Hingga
saat ini, sering aku hanya bisa diam-diam menyimpan rasa, tak pernah berani
mengutarakan perasaanku. Aku takut, itu saja. Padahal, bicara tentang fisik, aku pikir aku
tidak jelek-jelek amat kok. Body-ku cukup proposional, ideal dan
fit. Aku punya cukup rasa percaya diri
untuk membanding-bandingkan diriku dengan gitaris teman duet Dara di duo
besutan Republik Cinta itu, yang siapa itu entah namanya aku tidak ingat. Aku cuma ingat kalau kadang aku iri dengan gitaris itu; dia menarik,
terkenal, punya banyak uang, dan pastinya jadi idola para femme yang cantik-cantik se-tanah air. Sebenarnya kalau lagi waras, aku merasa
tampangku cukup menarik dan tak jauh berbeda dengan gitaris itu. Aku ingat, temanku pernah bilang padaku:
“Joe, kenapa lo begitu insecure? Tampang lo
oke, dan lo punya modal untuk deketin siapa aja yang lo mau…”
Aku hanya diam.
Tidak seorang pun tahu bahwa aku tidak cukup percaya diri karena aku punya
masalah sendiri. Aku punya ketakutan sendiri. Ya, masalahnya ada padaku. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang
dirasakan orang lain jauh dalam lubuk hatinya.
Kita bisa saja berdiri bersebelahan dengan seseorang tanpa pernah sadar
kalau orang itu hancur berkeping-keping dalam batin.
Seminggu yang lalu, aku curhat kepada seorang teman tentang kekhawatiranku.
Sedikit curhat saja, tanpa benar-benar bercerita secara utuh. Temanku itu
menyarankan agar aku berbicara dengan seorang psikolog, kebetulan dia punya
kenalan psikolog muda, baru lulus magister psikologi universitas ternama di
ibukota. Awalnya, aku agak keberatan.
“Aku kan gak ada masalah dengan kejiwaan,
kenapa mesti ketemu psikolog?”
“Gak apa-apa,
kali. Curhat aja, gratis ini.
Kalau mau gue telponin deh, dan lo bisa atur janji ketemu dengan dia.”
“Tapi, kok rasanya…”
“Coba aja dulu. Eh, dia cantik tau… Kali aja
lo…”
“Ah, apaan sih. Ya udah, atur deh sama lo
waktu dan tempatnya. Gue siap aja kok.”
Akhirnya, kemarin aku memutuskan untuk bertemu dengan psikolog itu. Tidak ada
ruginya, kupikir. Toh katanya dia cantik, paling tidak aku bisa cuci mata.
Di sudut restoran kecil, dekat jendela, seorang perempuan berkacamata, usia
sekitar 20-an akhir, duduk di sofa, sibuk dengan gadget-nya sambil sesekali menghisap rokok. Dia memakai atasan
abu-abu, celana hitam. Rambutnya panjang, digerai di atas sebelah bahunya. Aku
mendekat.
“Sore. Ehmmm…permisi, eh…”
Dia mendongak,
melihatku dan tersenyum.
“Hai… Ehmmm… Joe kah? Sendirian yah? Ayo,
duduk…”
Aku mengucap “makasih” dengan cepat, lalu duduk di
depannya. Sedikit canggung.
“Maaf, agak terlambat. Tadi…”
“Oh gak apa-apa kok. Aku juga belum lama di
sini.”
Kulirik cangkir
kopinya, hampir habis. Kulihat juga asbak di depannya, penuh dengan puntung rokok
kretek tanpa filter. Belum lama? Well…
Aku tersenyum.
Dia juga tersenyum melihatku. Cantik, pikirku. Mirip Anne Hathaway, tapi dalam
versi mulut sedikit lebih lebar dan maju.
Aku masih sedikit terpesona dengannya saat kami berbasa-basi sebentar,
berbagi obrolan tentang parahnya macet di jalanan ibukota seolah-olah dia baru
tiba di Jakarta kemarin sore, juga obrolan tak penting tentang betapa cerahnya
cuaca hari ini, yang sebenarnya bagiku terik setengah mati dan sama sekali tak
pantas disebut cerah. Dia bercerita
bahwa dia menyukai dunia psikologi, selalu tertarik dengan kasus-kasus nyata,
selalu ingin belajar, makanya dia sangat excited
saat kemarin lusa temanku menghubunginya dan bercerita tentang masalahku. Aku lebih banyak diam saat dia berceloteh
tentang prestasi-prestasinya di bidang pendidikan yang dia tekuni. Kadang saat dia sedikit menyombongkan diri
tentang institusi tempat dia menuntut ilmu, aku menanggapi dengan setengah
tersenyum, menarik mulutku ke arah kiri wajah membentuk senyum sebelah. Aku masih mencoba bersikap senyaman mungkin
walau sebenarnya aku mulai mengantuk dan bosan, sampai akhirnya kudengar dia
berkata:
“Oke,
mbak Joe. Jadi kemarin…”
WHAT?
Pekikku dalam hati.
“What? Apa?”,
akhirnya aku keluarkan pekik dalam hatiku tadi.
“Eh, ya… Jadi kemarin…”
“Bukan itu. Mbak?”
“Eh…ehmmm…iya, mbak.”
“Hello? My name’s Joe. And I’m butchy.”
“Oh, maaf. Aku gak bermaksud. Tadi itu
kebiasaan aja, spontan. Biar sopan aja…”
“Namaku Joe…”
“Iya, Joe. Sekali lagi aku tadi spontan, gak
bermaksud menyinggung. Cuma ingin membuat semua terlihat normal aja…”
Aku
mengerutkan dahi.
“Normal?
Memangnya aku gak normal, gitu?”
“Bukan begitu. Maksudku, tadi cuma…” dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Ehmmm, lagi pula memang kamu berbeda
bukan? Tidak seperti lazimnya mereka yang…”
Aku tertawa, dan
segera memotong kalimatnya.
“Hahaha…aduh, maaf ya. Tapi rasanya kok
belum apa-apa aku sudah gak nyaman nih. Kenapa mesti ada pengkotak-kotakkan
seperti itu? Lazim, tidak lazim. Normal dan tidak normal?”
Dia mencoba tersenyum, tapi gagal.
“Well… Dalam beberapa pandangan, kasus
seperti ini sih, bisa dianggap… tidak normal.”
“Baiklah. Kalau memang begitu. Tapi ini
pandanganku: Kalau memang orang sepertiku dianggap tidak normal, kasihan sekali
yang normal. Kasihan, tidak tahu betapa menyenangkannya menjalani hidup di atas
normal.”
Aku tersenyum,
lalu berdiri dan pamit pulang. Ntah kenapa, aku tersinggung sekali. Berlebihan
memang, hal seperti itu saja bisa bikin mood-ku turun seketika. Begitulah aku,
aku yang mengaku cuek dan tidak peduli, tapi untuk kasus seperti ini, hilang
semua rasa cuek-ku. Mungkin karena sifat ini lah, aku jadi sulit memulai
hubungan dengan seseorang. Mungkin.
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan hampa. Aku memulai hari dengan pikiran melayang tak
tentu, kadang memikirkan obrolan dengan mbak psikolog Anne Hathaway KW-13 kemarin
sore, juga memikirkan kekhawatiranku selama ini. Mengapa aku begitu tidak
percaya diri? Mengapa aku begitu takut dan lemah? Aku berdiri tanpa memakai
baju sehelai pun, memandang bayangan tubuhku sendiri di depan cermin kusam yang
menempel di pintu lemariku. Kuperhatikan
kedua tonjolan rata di dadaku yang selalu aku sembunyikan, kemudian lama aku
memandang kosong ke bagian tubuh di antara kedua pahaku. Aku memikirkan seks. Bukan karena aku sedang
bergairah atau dilanda birahi, aku memikirkannya justru karena aku tidak
percaya diri. Buat orang-orang seperti aku dan kaumku, dalam berpacaran, sudah
tentu melibatkan hubungan fisik yang lebih dari sekadar berpegangan tangan. Itu
yang menyebabkan aku tidak percaya diri. Aku takut suatu hari nanti, saat akhirnya
kesempatan itu datang, aku ditertawakan di atas ranjang oleh pasanganku, karena
tentu tidak mungkin bagiku untuk bercinta dengan tetap memakai celana dalam,
atau menutupi selangkanganku dengan tangan. Itulah inti dari segala
kekhawatiranku. Mungkin terdengar
sepele, tapi tidak bagiku.
Aku melangkah ke kamar mandi, membasahi tubuhku dengan air dingin. Segar
rasanya. Tiba-tiba aku berpikir untuk segera menyelesaikan semua ini. Apa yang
mesti aku takutkan? Bukankah tidak ada yang salah dengan diriku? Aku normal-normal saja, bukan? Mengapa aku mesti malu? Zaman sudah begitu maju, peradaban serta
teknologi sudah begitu canggih dan bisa memberi solusi terbaik. Tiba-tiba aku
merasa mendapat pencerahan.
Aku bergegas menghidupkan motor dan melaju ke jalan raya. Aku mau ke rumah ibu,
aku ingin berbicara dengan ibu. Mungkin memalukan, tapi untuk hal seperti ini,
rasanya aku harus bilang pada ibu dan meminta restunya.
Tak sampai setengah jam, aku sudah tiba di halaman rumah. Kulihat pintu depan
terbuka. Aku masuk dan mencari ibu. Kulihat ibu sedang duduk di depan pintu
samping sambil mengupas buncis. Beliau tampak kaget namun senang. Aku menunduk
dan memeluknya dengan penuh rasa rindu dan sayang. Aku duduk bersila di depan
ibu. Beliau memandangku dan tersenyum.
“Sayang, kok gak bilang-bilang mau pulang.
Tumben. Ada apa?”
Ibu sepertinya
tahu kalau aku sedang gundah. Naluri seorang ibu, mungkin. Seorang ibu akan
selalu tahu dengan apa yang anaknya rasakan. Aku terdiam, sedikit bingung dan
malu. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk mengutarakan isi hatiku.
“Ibu. Aku ingin disunat…”