Thursday, September 6, 2012

A Pocky Story

“Never thought that I’d be so inspired…
Never thought that I would find the higher truth…
I believed that love was overrated, ‘till the moment I found you…”

Dia yang sedang tidur-tiduran di pangkuanku mendadak duduk tegak begitu mendengar lagu yang sedang diputar oleh CD player dalam mobilku.  Tangannya mengarah ke tombol volume dan diputarnya ke arah kanan hingga alunan suara Shane, salah satu personil boyband Westlife, bergaung lebih kencang.

“Aaah, ayang, kok ada lagu Westlife yang ini? Ini kan lagu kesukaanku.”

“Emang punya, udah lama ada di harddisk laptopku, cuma baru aku burning ke CD aja.”

“Gak semua orang tau lagu Westlife yang ini, lho. Apa coba judulnya?”

Something Right.”

“Kamu dong”

“Ha? Maksudnya?”

“Ya kamu. Kamu itu something right buat aku.”

“Ayang, bisa aja. Yakin?”

“Iya lah, yakin.”

Dia kembali merebahkan diri ke pangkuanku, aku mainkan jariku di rambutnya.

“Kenapa bisa yakin?”, lanjutku.

“Yakin aja.”, jawabnya singkat.

“Iya. Tapi kenapa?”, desakku, lebih ke arah bercanda sebenarnya.

“Jangan tanya kenapa, Ay. Aku gak mau mikirin alasannya.  Bukan karena tidak ada, tapi karena aku tidak mau tahu.  Kalau aku tahu alasan kenapa aku yakin bahwa kamu adalah sesuatu yang tepat untukku, aku khawatir suatu hari saat hal itu tak lagi cukup untuk menjadi alasan, aku mesti berhenti mencintaimu.”

Dia menjawab panjang lebar dengan nada serius, dan membuatku tidak bisa untuk tidak menahan tawa.

“Hahaha… Serius banget sih, Ay?”

“Iya lah, serius.”, jawabnya sambil menengadah memandang ke arahku dengan kedua matanya yang seperti tersenyum penuh rasa syukur, mungkin bersyukur atas kebersamaan kami. Mungkin.

“Sayang aku, gak?”, tanyaku. Iseng. Aku sudah tahu jawabnya.

“Sayang banget. Tanya itu mulu deh.”

“Demi apa?”

“Demi… Sejuta Pocky Strawberry.”, candanya garing, sok nakal.

“Yeee… Hahahaha… Dasar kamu, awas ya!”

Aku tertawa meski itu tidak lucu. Aku gelitiki perutnya hingga dia berteriak dan menahan tawa sambil mencoba memukul tanganku.  Dia, Pocky Strawberry-ku, yang begitu manis dan menyenangkan.  Aku yang tak pernah begitu suka dengan cemilan manis,  jadi seorang penggemar biskuit bersalut krim stroberi itu karena dia.  Dia, yang dulu membuatku bangkit dari berbulan-bulan sakit hati akibat dikhianati. Dia yang aku cinta dengan jiwa. Cinta yang membuat aku tak peduli lagi akan mimpi karena kehadiran dirinya yang begitu nyata. Dia, my Pocky Strawberry, yang saat ini terpejam memelukku.

“Ay, do you love me?”, tanyanya tiba-tiba.  Tentu saja dia pun sudah tahu jawabanku.

Yes. I love you. So much.”, jawabku dengan nada sok dramatis seperti dalam adegan film-film romantic comedy ala Hollywood.

Really? I love you too.

Yes of course. I love you so much. Forever.

Dia memelukku lebih erat.  Lebih tepatnya memeluk perutku.  Kubalas dengan setengah pelukan sambil menunduk mencium dahi dan rambutnya. Sementara itu, “Something Right” lantunan Westlife yang sudah diatur ke repeated track mode kembali mengalun untuk kedua kalinya.


***


“And baby, I know I don’t deserve the love you give me, but I don’t really care…”

Kami kembali duduk berdua di dalam mobil yang kuparkir di tempat yang sama beberapa bulan yang lalu, dengan soundtrack yang sama pula, “Something Right” dari Westlife. Ini pertemuan kami pertama setelah selama hampir sebulan tak bertegur sapa.  Kami duduk diam, sama-sama menunduk.  Dia menutupi setengah wajahnya dengan sweater yang basah oleh air mata.  Aku berkali-kali mengerjapkan mata menghalau basah yang sepertinya mengumpul di sudut kelopak.

“Tak bisa kah kita perbaiki lagi?”, kataku pelan.

Dia menggeleng, “Enggak. Aku gak mau lagi…”

“Ayang, maaf.  Maafin aku. Please…

“Aku sudah telanjur sakit.”

“Iya, aku tau. Tapi…”

“Kamu tuh udah sia-siain aku, tau gak?”, dia setengah berteriak dengan suaranya yang serak.

“Maaf.  Maaf kalau aku sempat jenuh dan menjauh. Aku memang salah.”

Toh kamu akan dengan lebih mudah dapat yang baru. Pacarin sana followers kamu di Twitter…”

“Ayang, kok bahas itu lagi? Sumpah, aku gak ada yang lain.”

“Tapi aku sakit hati baca tweet-tweet kamu…”, dia memandang keluar jendela, tak melanjutkan kalimatnya.

“Jadi, kita benar-benar sampai sini saja? Tidak ada kesempatan lagi buat aku? Tidak bisa kah kita perbaiki lagi hubungan kita?”

Dia menggeleng. “Tidak.”.

Aku tercekat. Mataku basah. Nafasku sesak. Aku tarik dia mendekat, dan kupeluk. Dia diam saja, tidak mengelak namun tidak membalas pelukanku.

“Aku tahu aku tidak pantas lagi dicintai olehmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak peduli.  Aku akan tetap mencintaimu. Kamu akan tetap menjadi Pocky Strawberry-ku.”

Dia tetap diam, namun aku cukup tahu kalau dia juga menahan tangis.  Aku bisa mendengar isak tangisnya yang pelan.

“I love you, Ay. You’ll always be my only Pocky Strawberry. I love you, forever.”

Dia akhirnya balas memelukku. Terakhir kalinya.  Lama kami berpelukan, saling terisak dalam diam hingga kami tak lagi sadar, entah sudah ke-berapa kali repeated track “Something Right”-nya Westlife diputar.

“If you want me, I must be doing something right. I got nothing left to prove and it’s all because of you…”


***


“It’s because of you, I feel so lifted…
I’ve been looking at my life from higher ground…”

Malam itu, dalam perjalanan pulang dari rutinitas harian, aku sedang menyetir dengan setengah melamun ketika tiba-tiba CD player di mobilku memutar “Something Right”.   Aku tersenyum sendiri dan segera saja kenangan-kenangan akan seorang mantan berputar di benakku bagai potongan-potongan gambar yang muncul secara acak.  Beberapa bulan sudah terlewati sejak pertemuan terakhir yang dramatis itu.  Pelukan terakhir yang diwarnai isak tangis tak bersuara dan air mata jatuh terpaksa.  Adegan drama melankolis yang hampir tak pernah aku ingat lagi.  Aku sudah melewati masa-masa paska putus cinta itu dengan sukses.  Tentu saja sama berat dan sama menyakitkan dengan hampir semua tragedi sakit hati berakhirnya hubungan pacaran para pasangan lain, tapi aku mampu melewatinya.

Kuatur CD player ke repeat mode, seperti dulu, supaya Westlife bisa berulang kali mendendangkan “Something Right”.  Dulu, untuk kami, berdua.  Sekarang, hanya untuk diriku, sendiri.  Kuputuskan untuk mengelilingi kota saja sebelum pulang, kegiatan yang dulu aku dan dia hampir lakukan setiap malam, mengelilingi tiap sudut kota tanpa tujuan yang jelas.  Aku tidak sedang galau karena mantan.  Aku hanya sedang mengenang seseorang yang dulu pernah sangat aku cintai.  Aku sedang mengenang sepenggal babak dalam kisah perjalanan cintaku.  Mengenang dengan perasaan berbeda.

Dulu memang aku yang salah.  Aku layak dicampakkan.  Aku yang dulu sempat menyia-nyiakannya.  Aku yang egois.  Hanya karena aku jenuh, aku menjauh darinya yang begitu setia menunggu penuh harap dan tetap bertahan mencintaiku.  Sampai akhirnya aku menyesal pada saat semua sudah terlambat.  Dia telanjur pergi sebelum aku memutuskan untuk kembali.

Dulu aku begitu mencintainya.  Mencintainya teramat sangat.  Begitu banyak kenangan indah dalam kisah cinta 14 bulan antara aku dan dia.  Sampai saat ini pun kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa aku pernah bisa jenuh menjalani hubungan dengan seseorang yang aku cintai sepenuh hati dan jiwa?  Yah, hati memang tak pernah bisa diatur.  Kalau hati bisa diatur, tentu aku memilih untuk tidak pernah jenuh padanya.  Tentu aku memilih untuk tidak menafikkan apa yang selalu aku ucapkan padanya: “Aku sayang kamu, selamanya.”

Aku menepi dan memarkir mobilku di jalan lereng bukit tempat aku dan dia biasa menikmati malam.  Tempat kami terakhir bertemu dan berbagi pelukan, sebelum akhirnya benar-benar tak lagi saling sapa seperti dua orang yang tak pernah mengenal satu sama lain.  Tapi aku sama sekali tak merasa gundah, aku benar-benar bisa mengenang napak tilas ini dengan ikhlas.  Selama ini, tak pernah terbersit sedikit pun keinginan untuk kembali merajut kasih dengannya.  Bukan aku tidak pernah rindu padanya.  Selalu ada satu atau dua hari dalam seminggu di mana aku merindukan dia.  Tapi berhenti di situ saja, kunikmati rinduku padanya tanpa keinginan untuk menghubungi dia kembali. Kalau sedang kangen, ya kangen saja, tidak ada gunanya melawan perasaan. Seperti malam ini, aku mendadak merindukan dia dan seperti biasa pula, aku nikmati saja perasaan ini.  Kuhidupkan sebatang rokok, hal yang dulu tak mungkin aku lakukan saat aku sedang bersamanya.  Dia benci bau dan asap rokok.  Dia tak pernah mau dekat-dekat denganku setiap aku habis merokok. Ah, aku rindu pada dia yang begitu baik dan manis. Semanis Pocky Strawberry.

Aku tersenyum mengingat Pocky Strawberry.  Tadi aku sempat mampir ke minimarket untuk membeli rokok dan cemilan.  Sudah lama aku tidak merasakan manisnya Pocky Strawberry seiring selesainya hubungan kami.  Tapi dia akan selalu menjadi Pocky Strawberry-ku meski kini aku bukan lagi penggemar Pocky.  Aku buka kantong plastik belanjaanku tadi, ada sekotak cemilan manis yang membuatku teringat pada seseorang. Aku rindu dia dan mendadak ingin mendengar suaranya.  Kuambil teleponku, kubuka daftar kontak bbm. Ada dia di sana, sang mantan dengan foto profil yang kebetulan sama dengan foto profil bbm-ku, foto yang diambil saat kami berlibur bersama ke ibukota.  Kupandangi dirinya dalam foto itu saat dalam hati aku berbisik, “Semoga aku sempat menjadi ‘Something Right’ untukmu, sesuatu yang tepat meski kisah kita sudah sekian lama lewat.”

Aku melamun sambil mendengarkan nada sambung di telepon dan sedikit terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang dari telepon.

“Halo, honey?”, suara orang di ujung sana itu terdengar riang.

“Hello, Panda…”, jawabku dengan tak kalah ceria, sambil memandang kotak berisi biskuit-biskuit manis berbentuk panda dengan isi krim coklat, cemilan favoritku yang baru dan mengingatkan aku pada dia yang saat ini menjadi lawan bicaraku di telepon.


***


“Now baby, I didn’t know myself until you changed me, and made me understand…”

Sepotong lirik dari “Something Right”, lagu Westlife yang tidak begitu populer itu selalu berhasil menggali kenangan yang tersimpan rapi di sudut ingatanku, kenangan akan seorang mantan belahan hati.  Seseorang yang sempat hadir dan menolongku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik serta dengan caranya sendiri mampu mengubahku menjadi diriku yang sekarang.  Seseorang yang membuatku mengerti lagi akan satu hal tentang cinta.  Dia, seseorang yang padanya dulu aku tak pernah bosan berkata, “I love you, forever”.

Dengannya, aku belajar bahwa “I love you, forever” hanya akan menjadi “I love you, until I meet someone new” pada waktunya.

No comments: