Saturday, September 8, 2012

Jauh

Ada dua cangkir di mejaku.  Satu berisi teh susu hangat, satunya berisi kopi hitam pekat.  Di antara kedua cangkir itu, ada sebuah asbak keramik besar yang hampir penuh berisi abu dan puntung rokok.  Meja kayu bulat di sudut warung kopi ini adalah meja favoritku.  Ada dua sofa bulat berwarna coklat yang empuk mengelilinginya, tapi hanya satu yang terisi. 

Cangkirku yang berisi teh sudah setengah kosong.  Orang-orang bilang, mereka yang memandang gelas setengah kosong adalah mereka yang pesimis memandang hidup.  Menurutku, cangkir itu setengah kosong, tapi toh aku tidak merasa kalau aku pesimis.  Aku tidak peduli dengan cangkir setengah kosong atau setengah penuh.  Isi cangkir itu sudah kuminum sebagian, wajar saja kalau tidak penuh lagi.  Apa hubungannya isi cangkir dengan karakter pesimis atau optimis seseorang?  Setengah manisnya sudah kunikmati, mengapa mesti mengeluh?

Cangkirku yang berisi kopi hitam, seperti biasa, kubiarkan tetap penuh.  Hanya sedikit kukecap tak sampai seteguk, sedikit saja, agar tahu rasanya.  Ya, agar aku tahu rasanya dan bisa kuceritakan padamu. Pada kamu, yang jauh di sana, di seberang selat timur.  Itu cangkirku, tapi kopinya milikmu.  Milik kamu, yang menyukai kopi.  Kamu yang selalu memesan kopi saat kita menghabiskan waktu di setiap coffee shop yang kita singgahi.  Kamu yang selalu bertanya kenapa aku tidak memesan kopi juga. 

“Aku tidak terlalu menyukai kopi.  Tanpa kopi pun aku sudah cukup repot karena susah tidur di malam hari akibat merindukanmu teramat sangat.”.  Itu alasanku. 

Jauhnya jarak memang satu-satunya alasan mengapa setiap pertemuan kita menjadi begitu berharga.  Tapi bagiku, jarak bukan penyebab begitu sentimentilnya aku dalam menjalani hubungan ini.  Jarak antara dua hati yang saling mencinta tidak ada hubungannya dengan geografi.  Sepasang kekasih bisa saja duduk bersebelahan, tapi masing-masing merasa jauh, merasa curiga, atau juga saling tidak percaya.  Meski 1000 kilometer atau 1 sentimeter jarak yang memisahkan, kalau rasa tiba-tiba sudah tak sama, cinta bisa pergi begitu saja.  Hubungan berjauhan jarak bukan diukur dari ribuan kilometer yang memisahkan, tapi rindu yang tak terlampiaskan. 

Aku selalu merindukanmu.  Itu masalahnya.  Terlalu merindukanmu.  Kadang aku merasa terlalu sibuk merindukan, hingga lupa rasanya mencinta.  Aku merindukanmu setiap kali mataku berkedip di sela-sela saat kumencintaimu.  Tanpa rindu, apa yang kita jalani tidak akan seberat ini bagiku.  Aku tak pernah menyangka bahwa merindukanmu akan menjadi beban seperti ini.  Mencintaimu bagiku mudah, merindukanmu yang kurasa gundah.



***


“Do you miss me?” 


“Always. How about you?” 

“Selalu. Kangen, tapi gak bisa ketemu…” 

“Yah. Maaf ya, Sayang…” 

“Lho? Jangan minta maaf. Kamu gak salah kok…” 

“Iya. Tapi aku kasihan sama kamu…” 

“Sayang, menahan rindu memang kadang tak mudah.  Setiap pagi, aku memulai hari dengan menantang jarak untuk melampiaskan rindu, tapi aku bersyukur bahwa aku menyukai tantangan. Hal-hal tak terduga yang bisa menjadi pengobat rindu itu selalu jadi kejutan manis bagiku, setiap hari.”

“Aku juga begitu.  For me, it’s almost impossible to know what’s on your mind every morning.  But I don’t mind finding it out myself, with my own way.  You’re my everyday surprise.”

***


Aku tersenyum sambil memandang ke barisan kalimat panjang dalam obrolan lewat pesan teks antara aku dan dia.  Pasangan lain berkelakar lewat kata dan sentuhan, kami harus cukup puas dengan suara dan tulisan.  Yang lain berhadapan bertatap wajah, kami hanya bisa saling memandang gambar bergerak yang patah-patah.  Namun aku tidak pernah merasa jauh darinya.  Dia selalu ada di dekatku, di dekapan virtualku.

Masih ada dua cangkir di mejaku. Satu milikku, satu miliknya.  Selalu ada dua sofa di meja favoritku ini.  Satu untukku, satu menunggunya.

“Kutunggu dirimu…
Selalu kutunggu… 
Walau pun kutahu kau jauh…
Kutahu kau jauh…”


No comments: