Saturday, September 29, 2012

Kata Mantan


“Akhir dari pacaran itu hanya 2, kalau tidak menikah, ya putus…”

“Kalau kita tidak saling menyakiti satu sama lain, kisah kita belum tentu akan selalu tersimpan dalam ingatan.”

“Pacaran sama orang baik malah lebih beresiko disakiti, karena aku jarang berpikir macam-macam, jadinya lemah…”

“Mantan pacar yang akan paling selalu diingat itu mantan dengan a good sense of humor.”

“Nanti kalau sudah punya yang baru, kurangi ngetweet-nya. Jangan sampai dia merasakan apa yang aku rasakan.”

“Indah kan gak tiap hari…”

Friday, September 28, 2012

Dalam Hati Menjerit



Cc:

Subject: Along Came Petrichor

Selamat sore, pecinta hujanku.
Apa kabar mendung di sana? Sudahkah gelapnya awan perlahan terbias pancaran matahari? Masih tersisa kah basah di bumi selepas diterpa rintik air jatuh tak terhitung dari langit? Bagaimana dengan manisnya wangi tanah dan dedaunan basah, sempat tercium kah olehmu?

Pecinta hujanku, apa kabarmu?
Di sini, di kotaku, saat ini, saat kutuliskan ini, hujan masih saja turun.  Hujan yang seperti biasa, menjadi inspirasi terbesar ku untuk mengunggah emosi dalam bentuk verbal.  Hujan dan segala momen sentimental yang ia bawa dalam rupa kenangan dan harapan, sejak dulu, sedang dan akan datang. Hujan yang tak pernah gagal menggali memori, tentang kita, tentang cinta, tentang dua.

Pecinta hujanku, masih ingat “kita”?
Dulu, kita sempat berpikir bahwa suatu hari akan ada “kita”.  Dulu kita sempat berharap bahwa nanti di masa depan, “kita” bukan lagi sekedar harapan.  Dulu, aku menyelipkan “kita” di setiap khayalku. Tapi, seperti biasa, khayalan hanya berakhir di batas semu dan nyata.  Mungkin aku kurang berusaha terlalu keras, atau mungkin juga kamu yang tak sanggup mencoba ikhlas.  Kita perlahan melupakan “kita”.

Pecinta hujanku, masih ingat “cinta”?
Obrolan-obrolan dalam pesan teks tiap malam yang membuat jari-jari kita kaku, mengawali kedekatan kau dan aku. Ingat itu? Berbagi cerita lewat telepon hampir tiap tengah malam yang membuat kita merasakan seperti apa insomnia, membuka pintu hati masing-masing kita. Ingat kah kamu?  Tatapan mata, sentuhan-sentuhan lembut, bermain dengan jari-jemari, mewakili cinta yang masih malu-malu mengintip dari balik pintu hati. Cinta, rasa yang begitu istimewa, hingga luapan emosi saat kita saling menangisi dan menyakiti satu sama lain pun, itu cinta.  Cinta yang hadir tak terduga hanya karena kita berada di tempat yang sama, di waktu yang tepat, berdiri bersisian dengan separuh hati masing-masing.  Aku memang tak terlalu bisa menjelaskan cinta lewat deretan aksara.  Aku takut cinta akan hilang makna jika kutuangkan lewat puitisnya kata.  Yang kutahu, setiap aku melihatmu, memandangmu, atau memikirkanmu, aku merasakan cinta.  Cinta yang sederhana saja, yang tak pernah butuh alasan, karena selama yang kurasa nyata, cinta lah yang menjadi alasanku menantang semesta.

Pecinta hujanku, masih ingat “dua”?
Kamu pernah berkata, kita adalah dua. Dua hati, dua jiwa, dua raga.  Dua hati, yang tak pernah bisa diatur.  Hatimu yang menolak saat aku datang menawarkan hati.  Hatimu yang kemudian kehilangan saat aku terluka dan melangkah pergi membawa serpihan hati. Hatimu yang akhirnya menyadari, bahwa pada hatiku lah kamu terlambat tertambat.  Dua jiwa, yang putus asa.  Kamu dan aku, jiwa-jiwa yang sempat berharap menemukan belahannya pada diri masing-masing kita.  Hanya saja, jiwamu dan jiwaku, mungkin berbeda zona waktu. Saat jiwaku menemukanmu, jiwamu sedang entah dimana. Saat jiwamu menemuiku, jiwaku tak lagi di tempat semula.  Dua raga, kamu dan aku. Kita adalah dua orang yang sama-sama saling tidak percaya diri, namun mencoba untuk saling meyakini satu sama lain.  Kita, sepasang raga yang lemah, namun cukup kuat untuk percaya, bahwa ketidakbersamaan pun layak dikenang.

Pecinta hujanku, masih kah kau mengenangku?
Mengenang tiap langkah yang kita jalani berdua menuju asa yang ternyata bahkan tak ada. Kenangan yang mungkin akan selalu tersimpan dalam ingatan karena kita terlalu mencoba melupakan. Kenangan yang diawali dengan perkenalan sederhana, lalu jatuh cinta, hanya untuk berbesar hati dan berkompromi dengan situasi, bahwa pada akhirnya kita tidak bisa bersama.

Pecinta hujanku, masih sama kah rasamu?
Meski apa yang kau rasa sudah berbeda, aku dan cintaku tak pernah benar-benar pergi. Aku tak perlu merasa harus berhenti mencintai. Aku hanya perlu belajar merasa terbiasa mengenang sisa cinta, rasa yang hanya sekadar “kapan”, bukan “jika”.

Pecinta hujanku, maaf kalau aku tak pernah mengucap maaf. Sekadar maaf tak akan pernah cukup membuat penyesalan datang tepat waktu.  Meski sesal tak datang terlambat, kepedihan yang dibawa seiring hadirnya akan tetap sama.  Mungkin suatu hari, saat kita benar-benar tak saling bertegur sapa lagi, kau akan percaya, bahwa separuh hatimu akan tetap ada di tempatnya, di paruh hatiku, tanpa perlu kuucap maaf.  Aku tidak pernah salah, sayang.  Aku mencintaimu, tanpa salah.

Pecinta hujanku, ingat hatiku saat gerimis, kenang jiwaku di hujan badai, temui ragaku di manisnya aroma kala dan selepas hujan.

Pecinta hujanku, bila suatu hari kamu merindukanku, cari aku di antara janji yang sempat kutepati, ada aku di sana.

Pecinta hujanku, jangan pernah lelah percaya pada dustaku. Hari ini aku berhenti mencintaimu.


September 28
― your petrichor’s addict


SEND | SAVE AS DRAFT | CANCEL

***

Hujan sudah reda.  Tangisan tanpa air mataku tak lagi menyesakkan dada.  Hujan itu air mataku, mencoba ikhlas ini sedu sedanku. Ini akan jadi isak tanpa suara terakhirku. Aku bukan sedang bersedih, aku hanya berbesar hati.

It’s a good thing tears never show in the pouring rain.  The tears I never shed, from my last cry.


Klik
SAVE AS DRAFT.

Clicked!

Tuesday, September 25, 2012

La Mentira


Musim panas di Bogota kali ini benar-benar panas.  Tak ada yang ingat entah kapan terakhir kali turun hujan.  Angin yang berhembus pun terasa panas.  Debu dari tanah dan jalanan melengkapi teriknya panas matahari, membuat orang-orang tidak nyaman berlama-lama di luar rumah.  Sudah berminggu-minggu pula tidak terlihat genangan air di berbagai sudut kota.  Hanya saja, ada genangan air mata di ujung mata basah yang telah lelah mengalir di pipi seorang perempuan cantik berbusana tak senonoh yang sedang duduk tanpa semangat di salah satu bangku di ruang tunggu rumah sakit La Innocencia.

"Señora...", sapa seseorang berjas putih sambil berjalan pelan menghampiri perempuan itu.

"Si...", jawabnya lirih dalam nada putus asa bercampur pasrah.

Dokter muda itu tersenyum ramah dan menggamit tangan perempuan itu seperti mencoba menenangkannya.

"Nona Clitorisa Da Fellatio, mari, kita bicara di ruanganku."


***


Musim semi tahun sebelumnya, semua masih tampak indah.  Matahari bersinar cerah namun ramah menghangati kota.  Taman kota kebanggaan warga Bogota, Taman El Bonifacio, tampak teduh oleh rimbunnya dedaunan hijau dari beragam pepohonan dan perdu yang tumbuh di sana.  Di bangku taman di bawah pohon mahoni besar, Clitorisa duduk dan senyum-senyum sendiri mengingat drama yang telah terjadi hampir 2 tahun belakangan ini.  Clitorisa sedang merasa bahagia, impiannya akan segera terwujud.  Impian menghabiskan waktu bersama cinta sejatinya, Fernandick Jose.

Sejak beranjak dewasa, Clitorisa telah memimpikan bersanding dengan lelaki seperti Fernandick.  Tampan, mapan, berbadan atletis, dan jagoan di ranjang.  Mimpinya seperti mulai mendekati kenyataan saat dia bertemu Fernandick pertama kali di Acapulco Bay, di musim panas dua tahun yang lalu.  Tetapi sayang sekali, ternyata Fernandick telah bertunangan dengan seorang gadis muda kaya raya sebatang kara, Orgasmeralda Cobelita.  Betapa kesalnya Clitorisa saat itu, namun, sebagai seorang wanita sundal nan lacur yang penuh dengan nilai-nilai antagonis di setiap sel dalam tubuhnya, hal itu tidak menjadi penghalang.  Hanya dengan tiga malam bergumul penuh gairah bersama Fernandick, cukup bagi Clitorisa untuk merebut lelaki itu dan menyusun rencana untuk mewujudkan impiannya.  Clitorisa, seorang perempuan pintar yang sanggup melakukan apa saja untuk meraih impiannya bersama Fernandick Jose, lelaki yang telah bertekuk lutut di hadapan kedua pahanya.

Fernandick Jose sebenarnya sudah cukup mapan dengan bisnis yang dia jalani sejak 5 tahun belakangan ini.  Namun, sebagai seorang lelaki yang tak pernah puas, dia juga mampu menghalalkan segala cara untuk mengeruk lebih banyak keuntungan.  Pertunangannya dengan seorang gadis sebatang kara yang kaya raya, Orgasmeralda Cobelita, merupakan anugerah pembuka jalan untuk rencana-rencananya.  Fernandick tidak mencintai Orgasmeralda, dia hanya mengincar harta gadis lugu itu.

Ketika akhirnya Fernandick dan Orgasmeralda benar-benar menikah di musim panas dua tahun lalu, semua orang yakin bahwa mereka akan menjadi pasangan sempurna.  Orgasmeralda tampak sangat bahagia mendapatkan pendamping hidup seperti Fernandick.  Dia tidak tahu bahwa lelaki yang baru menjadi suaminya itu sehari sebelum hari pernikahan mereka, menghabiskan waktu semalaman bersama wanita lain, Clitorisa Da Fellatio, wanita yang baru dikenal suaminya 3 bulan lalu.  Orgasmeralda tidak tahu, bahwa di sini lah drama dimulai.

Angin sore musim semi yang sejuk bertiup santai dan membuat rambut panjang Clitorisa yang hitam mengkilat berkibar indah.  Clitorisa bahagia, akhirnya dia bisa kembali ke Bogota setelah hampir setahun bersembunyi di Acapulco.  Sekali lagi, dia tersenyum sendiri, kedua mata indahnya menyorotkan rasa kemenangan.  Dia merasa menang, Fernandick kini telah hampir kembali ke pelukannya.  Sebentar lagi impiannya terwujud, satu penghalang telah teratasi, tinggal satu lagi.  Satu penghalang yang muncul tiba-tiba di luar rencananya.  Satu penghalang yang bagi Clitorisa, bukan hal yang sulit untuk dilewati.


***


Fernandick Jose masih setengah terlelap ketika dia terbangun dengan sedikit kaget saat merasakan kecupan hangat di dahinya.

"Buen dia, señor…"

Fernandick membuka matanya dan melihat Dulce Labia di hadapannya.  Dulce Labia alta Minora, perempuan yang kini tinggal bersama Fernandick Jose, memainkan rambut ikal sebahunya yang pirang sambil menggigit bibir dan mengedip nakal.  Fernandick menelan ludah, dia tentu saja tidak tahan dengan godaan ini setiap pagi.  Sejak hampir 10 bulan setelah kepergian Orgasmeralda, dia mulai dekat dengan Dulce Labia, sahabat istrinya sendiri.  Mulanya Fernandick mendekati Dulce Labia karena mendiang istrinya, Orgasmeralda, yang dianggapnya brengsek itu mewariskan seluruh kekayaannya kepada Dulce Labia, bukan kepadanya.  Tentu saja Fernandick kesal bukan main, tapi demi peran yang dia mainkan, dia harus pura-pura berbesar hati.  Impiannya untuk segera menikmati kekayaan Orgasmeralda bersama Clitorisa terpaksa tertunda.  Awalnya ini semua terasa berat, dia harus berpisah dengan Clitorisa demi menutup jejak perbuatan jahat mereka terhadap Orgasmeralda.  Clitorisa terpaksa mengungsi ke Acapulco, sementara dia terlunta-lunta di Bogota karena rumah mendiang istrinya dijual oleh sang ahli waris, Dulce Labia.  Tapi Fernandick dan Clitorisa tak kehabisan akal, mereka menyusun rencana baru, yakni mendekati Dulce Labia, dengan tujuan yang sama seperti saat Fernandick mendekati Orgasmeralda dulu.  Untunglah Dulce Labia sama bodohnya dengan Orgasmeralda, dengan mudah dia bisa menjerat hati Dulce Labia, dan hingga sekarang, mereka tinggal bersama di apartemen mewah milik Dulce Labia.

Fernandick Jose baru saja selesai mandi ketika Dulce Labia memanggilnya.  Dia berjalan ke dapur dan melihat Dulce Labia yang masih memakai gaun tidur duduk di depan meja kecil dengan 2 gelas cangkir kopi dan beberapa potong roti bakar.

"Ini kopimu, sayang.", Dulce Labia menyambut Fernandick dengan hangat.

"Gracias, amore...", balas Fernandick sambil mencium lembut pipi Dulce Labia.

"Sayang, coba tebak! Siapa yang hari ini akan datang?", tanya Dulce Labia.

"Tidak tahu. Siapa memangnya?"

"Clitorisa! Dia tadi meneleponku, pesawatnya mendarat pagi ini, dan dia akan tiba di sini sekitar 30 menit lagi.  Kau tidak keberatan, kan? Maksudku, mungkin dia akan tinggal di sini beberapa hari."

"Oya? Tidak, tentu saja tidak. Mana mungkin aku keberatan. Dia kan sahabatmu."

Dulce Labia tersenyum lebar, tampak senang sekali mempunyai kekasih yang penuh pengertian seperti Fernandick Jose.

Fernandick balas tersenyum sambil memandang Dulce Labia.  Dia cantik sekali, desah Fernandick dalam hati.  Fernandick melamun sebentar, dia khawatir dia telah benar-benar jatuh cinta pada Dulce Labia, korban permainannya saat ini.  Dulce Labia yang cantik dan menyenangkan, nyaris sempurna.  Hanya saja bodoh, batin Fernandick dengan cepat.  Dia harus menguasai diri, dia hanya mencintai Clitorisa, dia tidak boleh goyah.  Di mata Fernandick, Dulce Labia bahkan lebih bodoh daripada Orgasmeralda.  Dulce Labia begitu polosnya percaya pada dirinya dan Clitorisa.  Dulce Labia bahkan menyambut hangat persahabatan yang ditawarkan Clitorisa, cinta sejati Fernandick.  Dulce Labia yang sama sekali tak curiga akan permainan Fernandick Jose dan Clitorisa.  Dulce Labia yang bodoh, bisik Fernandick ke dirinya sendiri dengan sedikit ragu.  Jauh di lubuk hatinya, dia mengakui kalau dia mulai menyimpan rasa pada Dulce Labia. Jauh sekali di lubuk hatinya.


***


Clitorisa menggelinjang bagaikan disambar petir mendengar kabar yang disampaikan oleh dr.Armandildo.  Kekhawatirannya terbukti sudah.  Dia lemas seketika bagaikan habis bercinta semalam suntuk.  Tak pernah dia duga sebelumnya, kecelakaan ringan yang dialami Fernandick Jose akan berakibat begini.  Kecelakaan itu tidak fatal bagi Fernandick, tapi dia harus menjalani serangkaian cek kesehatan untuk keselamatan dirinya.  Cek darah yang menguak rahasia lebih besar, dan membawa drama mereka ke akhir yang lebih tragis.

Fernandick Jose terbaring lemas dan tak berkedip memandang kosong ke dinding kamar rumah sakit.  Clitorisa duduk di sebelah tempat tidur dengan ekspresi wajah tak jelas, antara marah, sedih, kecewa, tidak percaya, namun tidak tahu harus berbuat apa.  Mereka sama-sama tidak sanggup memikirkan bagaimana hal ini bisa terjadi.  Mereka tiba-tiba merasa lelah, terlalu lelah untuk menerka-nerka mencari siapa yang salah dan bisa disalahkan. Bahkan saling bicara saja mereka tak mampu.

Tak pernah mereka menyangka, bahwa petualangan mereka akan berakhir di sini.  Panggung tempat mereka unjuk drama rubuh seketika.  Bahkan bagi mereka, dunia telah hancur.  Hidup tak lagi berguna.  Tak ada lagi semangat untuk menghitung waktu tersisa.  Tak pernah mereka mengira, bahwa karma itu ada.  Karma yang tidak pernah kemana.  Karma yang hadir dalam tiga huruf.  Tiga huruf yang entah kapan suatu hari nanti akan membawa mereka ke tempat peristirahatan terakhir: H. I. V.


***


Pemakaman itu seperti biasanya tampak sepi, angin musim gugur bertiup di antara pepohonan besar, menerbangkan dedaunan kuning ke tanah yang telah hampir penuh oleh hamparan daun dan rumput kering.  Seorang perempuan bertubuh langsing nyaris kurus dibalut kemeja putih dan celana panjang hitam, lengkap dengan kerudung yang menutupi sebagian parasnya dan kacamata hitam besar yang menyembunyikan mata cekungnya, duduk di depan sebuah batu nisan.

"Apa kabarmu? Baik-baik saja, bukan? Aku di sini baik-baik saja. Kuharap aku baik-baik saja. Atau mungkin tidak.  Waktuku mungkin tak lama lagi. Tak lama lagi."

Perempuan itu terdiam menahan rindu yang dibalut oleh kesedihan.  Dia sudah terbiasa bersandiwara, berpura-pura tegar menjalani sisa hidupnya yang entah hanya akan bertahan hingga berapa lama lagi, dia pun tak tahu.  Dia telah ditinggal pergi oleh orang yang dikasihinya.  Semenjak ditinggal itu pula, dia hanya bisa menghitung hari hingga tiba saatnya dia bisa menyusul cinta yang telah pergi lebih dulu.

"Kepergianmu tak pernah kutangisi lagi.  Kehilanganmu yang kusesali."

Sejak ditinggal pergi, perempuan itu kehilangan separuh jiwa. Hidupnya berubah.  Dia bukan lagi dia yang dulu.

"Aku sudah setengah jalan membalaskan dendammu.  Kalau pun nanti tiba waktunya aku tak lagi di dunia ini hingga aku tak sempat menikmati manisnya balas dendam, aku bisa terima dengan lapang dada.  Aku bahkan akan lebih bersyukur, semakin cepat aku tiada, semakin cepat aku menyusulmu di surga."

Dari tasnya, dia mengeluarkan sebuah bingkai kecil dengan foto di dalamnya.  Foto dua orang yang tampak sangat bahagia saling berbagi pelukan.  Kali ini, dia tidak lagi mampu menahan butiran air mata yang jatuh mengaliri kedua matanya yang cekung dan dikelilingi lingkaran hitam.

"Aku mencintaimu.  Terlalu mencintaimu.  Aku selalu menginginkanmu. Menginginkanmu lebih dari sebagai sahabat.  Namun aku tahu, aku tak akan pernah bisa bersamamu.  Aku tidak akan pernah berani mengambil resiko atas kedekatan kita lebih jauh.  Aku tidak mau membawamu turut serta mendekati kematian.  Tapi ternyata, kau pergi lebih dulu kesana. Aku kehilanganmu, teramat sangat.  Aku memang tak pernah dan tak sempat mengatakannya kepadamu semasa kau hidup, tapi inilah aku, beginilah aku."

Dia menaruh foto itu di sisi bawah batu nisan.  Foto seorang gadis cantik berambut panjang berwarna merah kecoklatan yang sedang merangkul seseorang berambut pirang pendek yang sekilas nampak seperti seorang lelaki muda yang tampan.  Di bagian bawah foto itu tergores tulisan tangan, "I love you, my BFF, Dulce Labia..."

Perempuan itu tersenyum dan berbisik perlahan, "I love you too, Orgasmeralda..."

Saturday, September 8, 2012

Jauh

Ada dua cangkir di mejaku.  Satu berisi teh susu hangat, satunya berisi kopi hitam pekat.  Di antara kedua cangkir itu, ada sebuah asbak keramik besar yang hampir penuh berisi abu dan puntung rokok.  Meja kayu bulat di sudut warung kopi ini adalah meja favoritku.  Ada dua sofa bulat berwarna coklat yang empuk mengelilinginya, tapi hanya satu yang terisi. 

Cangkirku yang berisi teh sudah setengah kosong.  Orang-orang bilang, mereka yang memandang gelas setengah kosong adalah mereka yang pesimis memandang hidup.  Menurutku, cangkir itu setengah kosong, tapi toh aku tidak merasa kalau aku pesimis.  Aku tidak peduli dengan cangkir setengah kosong atau setengah penuh.  Isi cangkir itu sudah kuminum sebagian, wajar saja kalau tidak penuh lagi.  Apa hubungannya isi cangkir dengan karakter pesimis atau optimis seseorang?  Setengah manisnya sudah kunikmati, mengapa mesti mengeluh?

Cangkirku yang berisi kopi hitam, seperti biasa, kubiarkan tetap penuh.  Hanya sedikit kukecap tak sampai seteguk, sedikit saja, agar tahu rasanya.  Ya, agar aku tahu rasanya dan bisa kuceritakan padamu. Pada kamu, yang jauh di sana, di seberang selat timur.  Itu cangkirku, tapi kopinya milikmu.  Milik kamu, yang menyukai kopi.  Kamu yang selalu memesan kopi saat kita menghabiskan waktu di setiap coffee shop yang kita singgahi.  Kamu yang selalu bertanya kenapa aku tidak memesan kopi juga. 

“Aku tidak terlalu menyukai kopi.  Tanpa kopi pun aku sudah cukup repot karena susah tidur di malam hari akibat merindukanmu teramat sangat.”.  Itu alasanku. 

Jauhnya jarak memang satu-satunya alasan mengapa setiap pertemuan kita menjadi begitu berharga.  Tapi bagiku, jarak bukan penyebab begitu sentimentilnya aku dalam menjalani hubungan ini.  Jarak antara dua hati yang saling mencinta tidak ada hubungannya dengan geografi.  Sepasang kekasih bisa saja duduk bersebelahan, tapi masing-masing merasa jauh, merasa curiga, atau juga saling tidak percaya.  Meski 1000 kilometer atau 1 sentimeter jarak yang memisahkan, kalau rasa tiba-tiba sudah tak sama, cinta bisa pergi begitu saja.  Hubungan berjauhan jarak bukan diukur dari ribuan kilometer yang memisahkan, tapi rindu yang tak terlampiaskan. 

Aku selalu merindukanmu.  Itu masalahnya.  Terlalu merindukanmu.  Kadang aku merasa terlalu sibuk merindukan, hingga lupa rasanya mencinta.  Aku merindukanmu setiap kali mataku berkedip di sela-sela saat kumencintaimu.  Tanpa rindu, apa yang kita jalani tidak akan seberat ini bagiku.  Aku tak pernah menyangka bahwa merindukanmu akan menjadi beban seperti ini.  Mencintaimu bagiku mudah, merindukanmu yang kurasa gundah.



***


“Do you miss me?” 


“Always. How about you?” 

“Selalu. Kangen, tapi gak bisa ketemu…” 

“Yah. Maaf ya, Sayang…” 

“Lho? Jangan minta maaf. Kamu gak salah kok…” 

“Iya. Tapi aku kasihan sama kamu…” 

“Sayang, menahan rindu memang kadang tak mudah.  Setiap pagi, aku memulai hari dengan menantang jarak untuk melampiaskan rindu, tapi aku bersyukur bahwa aku menyukai tantangan. Hal-hal tak terduga yang bisa menjadi pengobat rindu itu selalu jadi kejutan manis bagiku, setiap hari.”

“Aku juga begitu.  For me, it’s almost impossible to know what’s on your mind every morning.  But I don’t mind finding it out myself, with my own way.  You’re my everyday surprise.”

***


Aku tersenyum sambil memandang ke barisan kalimat panjang dalam obrolan lewat pesan teks antara aku dan dia.  Pasangan lain berkelakar lewat kata dan sentuhan, kami harus cukup puas dengan suara dan tulisan.  Yang lain berhadapan bertatap wajah, kami hanya bisa saling memandang gambar bergerak yang patah-patah.  Namun aku tidak pernah merasa jauh darinya.  Dia selalu ada di dekatku, di dekapan virtualku.

Masih ada dua cangkir di mejaku. Satu milikku, satu miliknya.  Selalu ada dua sofa di meja favoritku ini.  Satu untukku, satu menunggunya.

“Kutunggu dirimu…
Selalu kutunggu… 
Walau pun kutahu kau jauh…
Kutahu kau jauh…”


Thursday, September 6, 2012

Selama Kau Jauh

Dari kejauhan, aku lihat dia keluar dari sebuah warung makan bersama teman-temannya. Seperti biasa, dia selalu tampak paling menarik perhatian di antara orang-orang yang sedang bersamanya. Wajah manis itu, yang saat tersenyum atau cemberut pun selalu memancing orang lain untuk curi-curi pandang. Kadang aku bangga, tapi di kesempatan lain aku cemburu, dia pacarku dan aku tidak rela orang lain melirik nakal padanya. Aku rindu, sudah hampir sebulan tidak bertemu dengan dia.

Hampir 2 bulan sudah kami terpisah jarak sejak kepindahannya ke kota lain karena tuntutan orang tuanya yang ingin agar dia melanjutkan pendidikan S2 di universitas negeri di kota ini, kota yang saat ini sedang aku singgahi, tanpa sepengetahuan dia. Aku sengaja tidak bilang padanya kalau aku akan mengunjunginya. Kejutan kecil saja, semoga berbuah manis. Kehadiran diriku tentunya lebih berarti dibanding berjam-jam obrolan lewat telepon dan teks, bukan? Aku tak sabar ingin segera mengejutkannya.

Ini akan jadi pertemuan pertama kami di kota ini, pertemuan yang kuatur dengan bantuan seorang temannya. Tentu saja aku butuh bantuan, karena aku sama sekali tidak tahu di mana persisnya letak kosan dia. Akhirnya, setelah sedikit tanya dan investigasi sana-sini, malam ini aku berada di sini, di dekatnya, hampir di dekatnya. Aku berdiri di depan jalan menuju kos-kosannya, dia sudah di dalam kamarnya, entah sedang apa.

Aku menunggu dia menjawab telepon dengan sedikit berdebar-debar, tidak sabar.

“Halo? Sayang, aku baru mau SMS kamu…”, dia menjawab telepon dan langsung bicara tanpa basa-basi.

“Hehehe… Gombal.”, jawabku. “Eh sayang, aku titip sesuatu sama Ami, dia sudah hubungin kamu?”

“Sudah. Katanya dia mau kesini sekarang, mungkin sebentar lagi sampai. Kamu nitip apa sih?”

“Ada deh. Eh, aku tuh barusan telpon Ami, terus tiba-tiba telponnya putus, habis batere. Dia udah nungguin kamu di depan jalan katanya. Kamu kesana gih sekarang.”

“Hah? Kenapa dia gak telepon aku?”

“Kan ponselnya habis batere. Udah deh, buruan sekarang ke depan jalan. Dia bawa mobil, gak berani masuk jalan kecil katanya. Sekarang ya, buruan!”

“Oh. Oke, aku kesana sekarang. Tunggu ya, nanti aku telepon balik.”

Selesai menutup telepon, aku berjalan menuju tiang listrik di samping jalan masuk menuju kosan dia. Aku bersandar di situ, menunggunya dengan excited. Tak lama, kulihat dia berjalan dan berhenti di pertigaan jalan, celingak-celinguk kebingungan. Dia tidak melihatku yang berdiri di belakangnya sambil menahan tawa sekaligus menahan keinginan memeluknya dari belakang. Dia berbalik badan, dan ketika mengeluarkan ponselnya, dia melihatku. Ekspresi kekagetan bercampur tidak percaya dan ragu menghiasi wajahnya. Dia memandangku, lama. Aku tersenyum, lalu mendekat.

“Sayaaaaaaang…”, teriaknya sambil dia setengah berlari mendekatiku.

Kami berhadapan sejenak. Kupandangi wajah itu, kutatap matanya yang berkaca-kaca.

“Love, I’m here.”, cuma itu barisan kata yang mampu kukeluarkan.

Dia tidak menanggapi kata-kataku. Sekejap, dia rengkuh aku dalam peluknya dan dibenamkan wajahnya di bahuku. Aku balas memeluknya tak kalah erat. Aku tak butuh kata-kata. Dia sudah mengatakan segenap isi hatinya tanpa perlu berbicara. Lewat dua matanya yang berkaca-kaca, aku tahu dia sedang bicara berjuta puitisnya cinta. Lewat pelukan eratnya, aku mendengar rindu.

Kami berpelukan cukup lama. Melepas rindu yang selama ini cuma terobati lewat obrolan telepon dan pesan singkat. Lepas semua beban emosi yang selama ini menggumpal di dalam benak dan hati. Penat dan lelah menunggu sua seperti menguap seiring pelukan yang menyelusupkan lega dan bahagia di rongga hati. Dia di sini, di dekatku, di dekapku.

***

“Apa yang kamu lakukan selama aku gak bisa menemanimu?”

“Browsing promo tiket pesawat.”

“Kamu gak usah sering-sering mengunjungiku, kasihan, nanti kamu gak bisa punya tabungan.”

“Aku tidak mau menyerah pada jarak. Rinduku tidak bisa kompromi dengan geografi.”

“Makasih ya sayang. Aku sayang kamu.”

Aku tersenyum. Kalimat klasik dan sederhana itu tak pernah gagal meluluhkan hati seorang pecinta di mana pun.

“Kalau kamu, apa yang kamu lakukan selama gak ada aku di dekatmu?”, aku balik bertanya.

“Menahan rindu. Menyadarkan diriku sendiri agar jangan pernah lupa bahwa di seberang lautan barat ada kamu menungguku dan menjaga kepercayaanku.”

“Hahaha… Romantis deh. Gimana emang cara menyadarkan diri sendiri itu?”

“Banyak cara dong. Tapi aku suka dengerin lagu yang kamu kasih ke aku waktu itu.”

Panggilan kepada para penumpang berkumandang lewat pengeras suara di ruang tunggu itu. Kami berdiri dan bersiap-siap. Dia menyalamiku sebelum akhirnya kami berpelukan selama beberapa detik. Inginnya sih berciuman, tapi kami sama-sama cukup tahu diri kalau kami masih tinggal di Indonesia. Kami harus puas dengan sekadar pelukan.

Aku melambaikan tangan dan tak melepaskan pandangan darinya sampai akhirnya kami benar-benar tak bisa saling melihat sosok masing-masing. Aku akan segera kembali ke kota asal kami, menitipkan sebelah hati masing-masing dengan keyakinan akan kuatnya cinta. Beberapa bulan lagi kami akan bertemu, mungkin saat libur Idul Fitri, masih lama. Aku duduk di bangku dekat jendela, memandang ke arah bangunan utama bandara kota ini. Tentu saja dia tidak kelihatan, tapi aku tahu, dia pasti masih di sana, menunggu hingga aku benar-benar pergi. Kupasang headset music player-ku, kubaca judul lagu-lagu dalam deret lagu hingga akhirnya kutemukan satu yang ingin segera kudengar. Kupejamkan mata dan kunikmati pesan dalam lirik lagu itu: indahnya jarak.

“Kuingin kau tahu, meski pun ku jauh…
Ku ada di hatimu…
Kuingin kau tahu, meski pun ku jauh…
Kau tetap milikku…
Selamanya…”


***

Dua tahun lebih sedikit, dia kembali ke kota kami. Dia tetap menarik seperti dulu, bahkan lebih menarik. Selain itu, semua masih seperti dulu, dia masih dia yang selalu kurindukan. Dia juga masih seseorang yang bisa kuandalkan saat aku butuh teman tertawa akan lelucon-lelucon sederhana.

“Bagaimana rasanya bertemu kembali?”, tanyanya riang.

“Menyenangkan. Sungguh menyenangkan.”

“Apa yang kamu lakukan selama aku jauh?”, dia kembali bertanya, masih dengan riang.

Aku diam. Dia sudah tahu jawabnya. Haruskah kujelaskan lagi apa yang kurasakan? Dia tertawa kecil melihatku tak dapat berkata-kata. Aku mencoba tersenyum dan memandang wajahnya. Wajah seseorang yang begitu berharga bagiku.

Dia menarik nafas sebelum akhirnya panjang lebar berkata, “Aku bahagia akhirnya kita bisa bersama-sama lagi. Aku bahagia kita berjumpa lagi setelah sekian lama terpisah jarak. Jarak mengajarkan kita banyak hal. Aku senang kita berhasil untuk sama-sama tidak menyerah pada jarak. Bukan jarak yang mengalahkan kita, tapi rindu yang tak tersampaikan. Aku bersyukur kita masih punya rindu…”

Dia diam, membiarkan kalimatnya menggantung.

Kami diam sejenak hingga akhirnya aku bicara, “Rindu itu yang membuatku belajar.  Selama kau jauh, rindu menjadikan jarak sebagai anugerah. Selama kau jauh, rindu itu yang membuatku sadar bahwa cinta, apa pun bentuknya, akan tetap mencinta.”

Dia tetap tersenyum. Senyum yang tidak pernah tidak berhasil membuatku tersenyum balik.  Senyum yang mampu membuatku makin bersyukur, bahwa aku masih memilikinya.  Senyum yang terukir di wajah manis itu mengiringi barisan kata yang keluar dari jiwa besar seorang mantan, seorang sahabat:

“Aku bahagia karena dari rindu dan jarak, kita bisa sama-sama belajar. Kamu belajar menjadi pasangan yang baik buat dia, dan aku, aku belajar ikhlas.”

A Pocky Story

“Never thought that I’d be so inspired…
Never thought that I would find the higher truth…
I believed that love was overrated, ‘till the moment I found you…”

Dia yang sedang tidur-tiduran di pangkuanku mendadak duduk tegak begitu mendengar lagu yang sedang diputar oleh CD player dalam mobilku.  Tangannya mengarah ke tombol volume dan diputarnya ke arah kanan hingga alunan suara Shane, salah satu personil boyband Westlife, bergaung lebih kencang.

“Aaah, ayang, kok ada lagu Westlife yang ini? Ini kan lagu kesukaanku.”

“Emang punya, udah lama ada di harddisk laptopku, cuma baru aku burning ke CD aja.”

“Gak semua orang tau lagu Westlife yang ini, lho. Apa coba judulnya?”

Something Right.”

“Kamu dong”

“Ha? Maksudnya?”

“Ya kamu. Kamu itu something right buat aku.”

“Ayang, bisa aja. Yakin?”

“Iya lah, yakin.”

Dia kembali merebahkan diri ke pangkuanku, aku mainkan jariku di rambutnya.

“Kenapa bisa yakin?”, lanjutku.

“Yakin aja.”, jawabnya singkat.

“Iya. Tapi kenapa?”, desakku, lebih ke arah bercanda sebenarnya.

“Jangan tanya kenapa, Ay. Aku gak mau mikirin alasannya.  Bukan karena tidak ada, tapi karena aku tidak mau tahu.  Kalau aku tahu alasan kenapa aku yakin bahwa kamu adalah sesuatu yang tepat untukku, aku khawatir suatu hari saat hal itu tak lagi cukup untuk menjadi alasan, aku mesti berhenti mencintaimu.”

Dia menjawab panjang lebar dengan nada serius, dan membuatku tidak bisa untuk tidak menahan tawa.

“Hahaha… Serius banget sih, Ay?”

“Iya lah, serius.”, jawabnya sambil menengadah memandang ke arahku dengan kedua matanya yang seperti tersenyum penuh rasa syukur, mungkin bersyukur atas kebersamaan kami. Mungkin.

“Sayang aku, gak?”, tanyaku. Iseng. Aku sudah tahu jawabnya.

“Sayang banget. Tanya itu mulu deh.”

“Demi apa?”

“Demi… Sejuta Pocky Strawberry.”, candanya garing, sok nakal.

“Yeee… Hahahaha… Dasar kamu, awas ya!”

Aku tertawa meski itu tidak lucu. Aku gelitiki perutnya hingga dia berteriak dan menahan tawa sambil mencoba memukul tanganku.  Dia, Pocky Strawberry-ku, yang begitu manis dan menyenangkan.  Aku yang tak pernah begitu suka dengan cemilan manis,  jadi seorang penggemar biskuit bersalut krim stroberi itu karena dia.  Dia, yang dulu membuatku bangkit dari berbulan-bulan sakit hati akibat dikhianati. Dia yang aku cinta dengan jiwa. Cinta yang membuat aku tak peduli lagi akan mimpi karena kehadiran dirinya yang begitu nyata. Dia, my Pocky Strawberry, yang saat ini terpejam memelukku.

“Ay, do you love me?”, tanyanya tiba-tiba.  Tentu saja dia pun sudah tahu jawabanku.

Yes. I love you. So much.”, jawabku dengan nada sok dramatis seperti dalam adegan film-film romantic comedy ala Hollywood.

Really? I love you too.

Yes of course. I love you so much. Forever.

Dia memelukku lebih erat.  Lebih tepatnya memeluk perutku.  Kubalas dengan setengah pelukan sambil menunduk mencium dahi dan rambutnya. Sementara itu, “Something Right” lantunan Westlife yang sudah diatur ke repeated track mode kembali mengalun untuk kedua kalinya.


***


“And baby, I know I don’t deserve the love you give me, but I don’t really care…”

Kami kembali duduk berdua di dalam mobil yang kuparkir di tempat yang sama beberapa bulan yang lalu, dengan soundtrack yang sama pula, “Something Right” dari Westlife. Ini pertemuan kami pertama setelah selama hampir sebulan tak bertegur sapa.  Kami duduk diam, sama-sama menunduk.  Dia menutupi setengah wajahnya dengan sweater yang basah oleh air mata.  Aku berkali-kali mengerjapkan mata menghalau basah yang sepertinya mengumpul di sudut kelopak.

“Tak bisa kah kita perbaiki lagi?”, kataku pelan.

Dia menggeleng, “Enggak. Aku gak mau lagi…”

“Ayang, maaf.  Maafin aku. Please…

“Aku sudah telanjur sakit.”

“Iya, aku tau. Tapi…”

“Kamu tuh udah sia-siain aku, tau gak?”, dia setengah berteriak dengan suaranya yang serak.

“Maaf.  Maaf kalau aku sempat jenuh dan menjauh. Aku memang salah.”

Toh kamu akan dengan lebih mudah dapat yang baru. Pacarin sana followers kamu di Twitter…”

“Ayang, kok bahas itu lagi? Sumpah, aku gak ada yang lain.”

“Tapi aku sakit hati baca tweet-tweet kamu…”, dia memandang keluar jendela, tak melanjutkan kalimatnya.

“Jadi, kita benar-benar sampai sini saja? Tidak ada kesempatan lagi buat aku? Tidak bisa kah kita perbaiki lagi hubungan kita?”

Dia menggeleng. “Tidak.”.

Aku tercekat. Mataku basah. Nafasku sesak. Aku tarik dia mendekat, dan kupeluk. Dia diam saja, tidak mengelak namun tidak membalas pelukanku.

“Aku tahu aku tidak pantas lagi dicintai olehmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak peduli.  Aku akan tetap mencintaimu. Kamu akan tetap menjadi Pocky Strawberry-ku.”

Dia tetap diam, namun aku cukup tahu kalau dia juga menahan tangis.  Aku bisa mendengar isak tangisnya yang pelan.

“I love you, Ay. You’ll always be my only Pocky Strawberry. I love you, forever.”

Dia akhirnya balas memelukku. Terakhir kalinya.  Lama kami berpelukan, saling terisak dalam diam hingga kami tak lagi sadar, entah sudah ke-berapa kali repeated track “Something Right”-nya Westlife diputar.

“If you want me, I must be doing something right. I got nothing left to prove and it’s all because of you…”


***


“It’s because of you, I feel so lifted…
I’ve been looking at my life from higher ground…”

Malam itu, dalam perjalanan pulang dari rutinitas harian, aku sedang menyetir dengan setengah melamun ketika tiba-tiba CD player di mobilku memutar “Something Right”.   Aku tersenyum sendiri dan segera saja kenangan-kenangan akan seorang mantan berputar di benakku bagai potongan-potongan gambar yang muncul secara acak.  Beberapa bulan sudah terlewati sejak pertemuan terakhir yang dramatis itu.  Pelukan terakhir yang diwarnai isak tangis tak bersuara dan air mata jatuh terpaksa.  Adegan drama melankolis yang hampir tak pernah aku ingat lagi.  Aku sudah melewati masa-masa paska putus cinta itu dengan sukses.  Tentu saja sama berat dan sama menyakitkan dengan hampir semua tragedi sakit hati berakhirnya hubungan pacaran para pasangan lain, tapi aku mampu melewatinya.

Kuatur CD player ke repeat mode, seperti dulu, supaya Westlife bisa berulang kali mendendangkan “Something Right”.  Dulu, untuk kami, berdua.  Sekarang, hanya untuk diriku, sendiri.  Kuputuskan untuk mengelilingi kota saja sebelum pulang, kegiatan yang dulu aku dan dia hampir lakukan setiap malam, mengelilingi tiap sudut kota tanpa tujuan yang jelas.  Aku tidak sedang galau karena mantan.  Aku hanya sedang mengenang seseorang yang dulu pernah sangat aku cintai.  Aku sedang mengenang sepenggal babak dalam kisah perjalanan cintaku.  Mengenang dengan perasaan berbeda.

Dulu memang aku yang salah.  Aku layak dicampakkan.  Aku yang dulu sempat menyia-nyiakannya.  Aku yang egois.  Hanya karena aku jenuh, aku menjauh darinya yang begitu setia menunggu penuh harap dan tetap bertahan mencintaiku.  Sampai akhirnya aku menyesal pada saat semua sudah terlambat.  Dia telanjur pergi sebelum aku memutuskan untuk kembali.

Dulu aku begitu mencintainya.  Mencintainya teramat sangat.  Begitu banyak kenangan indah dalam kisah cinta 14 bulan antara aku dan dia.  Sampai saat ini pun kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa aku pernah bisa jenuh menjalani hubungan dengan seseorang yang aku cintai sepenuh hati dan jiwa?  Yah, hati memang tak pernah bisa diatur.  Kalau hati bisa diatur, tentu aku memilih untuk tidak pernah jenuh padanya.  Tentu aku memilih untuk tidak menafikkan apa yang selalu aku ucapkan padanya: “Aku sayang kamu, selamanya.”

Aku menepi dan memarkir mobilku di jalan lereng bukit tempat aku dan dia biasa menikmati malam.  Tempat kami terakhir bertemu dan berbagi pelukan, sebelum akhirnya benar-benar tak lagi saling sapa seperti dua orang yang tak pernah mengenal satu sama lain.  Tapi aku sama sekali tak merasa gundah, aku benar-benar bisa mengenang napak tilas ini dengan ikhlas.  Selama ini, tak pernah terbersit sedikit pun keinginan untuk kembali merajut kasih dengannya.  Bukan aku tidak pernah rindu padanya.  Selalu ada satu atau dua hari dalam seminggu di mana aku merindukan dia.  Tapi berhenti di situ saja, kunikmati rinduku padanya tanpa keinginan untuk menghubungi dia kembali. Kalau sedang kangen, ya kangen saja, tidak ada gunanya melawan perasaan. Seperti malam ini, aku mendadak merindukan dia dan seperti biasa pula, aku nikmati saja perasaan ini.  Kuhidupkan sebatang rokok, hal yang dulu tak mungkin aku lakukan saat aku sedang bersamanya.  Dia benci bau dan asap rokok.  Dia tak pernah mau dekat-dekat denganku setiap aku habis merokok. Ah, aku rindu pada dia yang begitu baik dan manis. Semanis Pocky Strawberry.

Aku tersenyum mengingat Pocky Strawberry.  Tadi aku sempat mampir ke minimarket untuk membeli rokok dan cemilan.  Sudah lama aku tidak merasakan manisnya Pocky Strawberry seiring selesainya hubungan kami.  Tapi dia akan selalu menjadi Pocky Strawberry-ku meski kini aku bukan lagi penggemar Pocky.  Aku buka kantong plastik belanjaanku tadi, ada sekotak cemilan manis yang membuatku teringat pada seseorang. Aku rindu dia dan mendadak ingin mendengar suaranya.  Kuambil teleponku, kubuka daftar kontak bbm. Ada dia di sana, sang mantan dengan foto profil yang kebetulan sama dengan foto profil bbm-ku, foto yang diambil saat kami berlibur bersama ke ibukota.  Kupandangi dirinya dalam foto itu saat dalam hati aku berbisik, “Semoga aku sempat menjadi ‘Something Right’ untukmu, sesuatu yang tepat meski kisah kita sudah sekian lama lewat.”

Aku melamun sambil mendengarkan nada sambung di telepon dan sedikit terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang dari telepon.

“Halo, honey?”, suara orang di ujung sana itu terdengar riang.

“Hello, Panda…”, jawabku dengan tak kalah ceria, sambil memandang kotak berisi biskuit-biskuit manis berbentuk panda dengan isi krim coklat, cemilan favoritku yang baru dan mengingatkan aku pada dia yang saat ini menjadi lawan bicaraku di telepon.


***


“Now baby, I didn’t know myself until you changed me, and made me understand…”

Sepotong lirik dari “Something Right”, lagu Westlife yang tidak begitu populer itu selalu berhasil menggali kenangan yang tersimpan rapi di sudut ingatanku, kenangan akan seorang mantan belahan hati.  Seseorang yang sempat hadir dan menolongku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik serta dengan caranya sendiri mampu mengubahku menjadi diriku yang sekarang.  Seseorang yang membuatku mengerti lagi akan satu hal tentang cinta.  Dia, seseorang yang padanya dulu aku tak pernah bosan berkata, “I love you, forever”.

Dengannya, aku belajar bahwa “I love you, forever” hanya akan menjadi “I love you, until I meet someone new” pada waktunya.

Thursday, August 16, 2012

Dirgahayu!

Peringatan 67 Tahun Indonesia Merdeka!

Love the nation, not the system. One day, we are going to have a better leader.  Next time, choose more wisely. Selamat Ulang Tahun, Negeriku...

Karya grafis berikut adalah hasil kreasi siswa SMSR Yogyakarta:


My Name’s Joe (inspired from "Di Atas Normal")



“Hey, my name’s Joe. And I’m butchy.”
Atau,
“Hai, gue Joe. Gue butchy.”

Joe. Begitu saja, cara perkenalan favoritku setiap bertemu dengan orang baru. Joe. Itu saja.  Tanpa embel-embel lain, tanpa gelar ini dan itu, tanpa Raden Mas apalagi Raden Ayu.  Orang-orang tidak perlu tahu nama panjangku, nama yang bahkan aku saja lupa. Cuma ibu yang biasa memanggilku dengan nama panjang pemberiannya itu. Selain beliau yang memanggil, aku tidak akan menoleh. Bukan karena aku tidak mau, tapi memang aku sudah berada dalam tahap tidak lagi ingat nama lengkapku.

Dari kecil, aku sudah dibilang tomboy. Semua bilang begitu. Aku sih diam saja, tidak peduli. Entah kenapa orang-orang menjuluki aku “si tomboy”, apa hanya karena aku tidak suka memakai rok dan baju yang indah berwarna-warni? Atau karena aku tidak suka bermain boneka dengan teman-teman perempuan?  Atau kah karena aku selalu menolak setiap ibu mencoba menguncir rambutku dan menghiasnya dengan pita, bando, serta pernak-pernik centil lainnya?  Lantas, apa hanya karena aku lebih nyaman memakai celana panjang dan kaos hitam atau hanya karena aku lebih suka memanjat pohon dan bermain layangan, aku jadi pantas dibilang tomboy? Entahlah. Definisi tomboy itu bagiku tidak jelas. Aku hanya melakukan apa yang aku suka, bukan yang orang suka. Kalau hal itu membuatku tampak “berbeda”, biarkan saja. Bagiku, “berbeda” itu lebih baik daripada tampak “sama”.  Bukankah menjadikan perbedaan itu anugerah bisa membuat kita yang biasa menjadi sedikit istimewa?

Aku, Joe. Usia 20-an, lulusan D3 jurusan mainstream, dengan nilai memuaskan. Paling tidak bagiku cukup memuaskan, lagi pula yang penting bagiku adalah melihat ibu senang karena akhirnya aku berhasil menyelesaikan pendidikan diploma dengan masa perkuliahan yang diperpanjang hingga menyamai jenjang strata 1.  Lulus dari kuliah, aku tidak terlalu lama menganggur.  Sejak setahun lalu, aku mempunyai pekerjaan yang layak dan kuanggap cukup keren. Aku bekerja di salah satu coffee shop lokal ternama, bertemu dengan banyak ragam manusia tanpa harus berpura-pura menjadi jenis manusia yang bukan diriku sendiri.  Aku suka pekerjaanku karena aku bebas bergaya dan berpakaian sesuai panggilan jiwaku, tidak seperti rekan-rekan waitress lainnya yang mesti mengenakan kostum ala gadis dari negeri kincir angin lengkap dengan rok hitam panjang dan sepatu kayu sintesis.  Rekan-rekan sekerja bisa menerima aku apa adanya. Atasanku pun tidak pernah mencoba mengatur gaya dan pandangan hidupku. Penghasilanku bisa dibilang cukup. Tentu saja cukup, karena aku tidak terlalu peduli akan hal-hal manusiawi. Dengan apa yang aku dapat dari pekerjaanku, aku tetap bisa menjadi diriku sendiri, itu yang paling penting.

Hidupku? Cukup menyenangkan. Tak ada persoalan hidup yang berarti selama kita mampu bertahan untuk tidak peduli. Saat ini, meski aku kerap sendirian menjalani hari-hariku, aku merasa hidup cukup adil.  Aku bisa mandiri, aku tidak lagi merasa hanya menjadi beban bagi satu-satunya orang tua yang aku punya: ibu.  Saat ini, aku tidak lagi tinggal bersama ibu.  Aku memilih untuk menyewa kamar 3x3 m tak jauh dari tempatku bekerja sekarang.  Sesekali aku mengunjungi ibu saat aku sedang off bekerja, menghabiskan sore di teras rumah yang berhiaskan rumpun lidah mertua kering, sambil menikmati  pisang goreng ala-ala banana fritter sebagai cemilan dan berkhayal seolah-olah kami adalah dua bangsawan Inggris yang dengan elegannya sedang menikmati waktu minum teh tubruk.  Aku selalu menikmati setiap momen tersebut, walaupun sering kali waktu soreku yang berharga itu dihabiskan hanya untuk mendengarkan ibu berceloteh dengan nada cempreng khas beliau, lengkap dengan intonasi meninggi nyaris histeris, menyampaikan cerita-cerita tidak penting dan tidak menarik serta keluh kesah beliau tentang hidup.  Tentang hidupnya, bukan hidupku.

Aku memang selalu mencoba merasakan nikmatnya saja dari hidup yang kujalani, tapi di sela-sela santainya aku menjalani hari demi hari dalam kehidupanku yang datar ini, tetap ada satu hal mengganjal dan sering mengganggu pikiranku, satu hal yang sepertinya jadi masalah bagi semua orang, termasuk bagi orang seperti aku: asmara.  Sejak melewati masa puber yang kelam dan penuh rasa penasaran tak terlampiaskan hingga masa sekarang (yang ternyata tetap kelam dan penuh rasa penasaran tak terlampiaskan juga), aku belum pernah menjalin hubungan dengan orang yang aku cintai. Sesekali dekat dengan seseorang, tapi selalu berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Hingga saat ini, sering aku hanya bisa diam-diam menyimpan rasa, tak pernah berani mengutarakan perasaanku. Aku takut, itu saja.  Padahal, bicara tentang fisik, aku pikir aku tidak jelek-jelek amat kok.  Body-ku cukup proposional, ideal dan fit.  Aku punya cukup rasa percaya diri untuk membanding-bandingkan diriku dengan gitaris teman duet Dara di duo besutan Republik Cinta itu, yang siapa itu entah namanya aku tidak ingat.  Aku cuma ingat kalau kadang  aku iri dengan gitaris itu; dia menarik, terkenal, punya banyak uang, dan pastinya jadi idola para femme yang cantik-cantik se-tanah air.  Sebenarnya kalau lagi waras, aku merasa tampangku cukup menarik dan tak jauh berbeda dengan gitaris itu.  Aku ingat, temanku pernah bilang padaku:
“Joe, kenapa lo begitu insecure? Tampang lo oke, dan lo punya modal untuk deketin siapa aja yang lo mau…”
Aku hanya diam. Tidak seorang pun tahu bahwa aku tidak cukup percaya diri karena aku punya masalah sendiri. Aku punya ketakutan sendiri. Ya, masalahnya ada padaku.  Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dirasakan orang lain jauh dalam lubuk hatinya.  Kita bisa saja berdiri bersebelahan dengan seseorang tanpa pernah sadar kalau orang itu hancur berkeping-keping dalam batin.

Seminggu yang lalu, aku curhat kepada seorang teman tentang kekhawatiranku. Sedikit curhat saja, tanpa benar-benar bercerita secara utuh. Temanku itu menyarankan agar aku berbicara dengan seorang psikolog, kebetulan dia punya kenalan psikolog muda, baru lulus magister psikologi universitas ternama di ibukota.  Awalnya, aku agak keberatan.
“Aku kan gak ada masalah dengan kejiwaan, kenapa mesti ketemu psikolog?”
“Gak apa-apa,  kali.  Curhat aja, gratis ini. Kalau mau gue telponin deh, dan lo bisa atur janji ketemu dengan dia.”
“Tapi, kok rasanya…”
“Coba aja dulu. Eh, dia cantik tau… Kali aja lo…”
“Ah, apaan sih. Ya udah, atur deh sama lo waktu dan tempatnya. Gue siap  aja kok.”

Akhirnya, kemarin aku memutuskan untuk bertemu dengan psikolog itu. Tidak ada ruginya, kupikir. Toh katanya dia cantik, paling tidak aku bisa cuci mata.

Di sudut restoran kecil, dekat jendela, seorang perempuan berkacamata, usia sekitar 20-an akhir, duduk di sofa, sibuk dengan gadget-nya sambil sesekali menghisap rokok. Dia memakai atasan abu-abu, celana hitam. Rambutnya panjang, digerai di atas sebelah bahunya. Aku mendekat.
“Sore. Ehmmm…permisi, eh…”
Dia mendongak, melihatku dan tersenyum.
“Hai… Ehmmm… Joe kah? Sendirian yah? Ayo, duduk…”
Aku mengucap “makasih” dengan cepat, lalu duduk di depannya. Sedikit canggung.
“Maaf, agak terlambat. Tadi…”
“Oh gak apa-apa kok. Aku juga belum lama di sini.”
Kulirik cangkir kopinya, hampir habis. Kulihat juga asbak di depannya, penuh dengan puntung rokok kretek tanpa filter.  Belum lama? Well…
Aku tersenyum. Dia juga tersenyum melihatku. Cantik, pikirku. Mirip Anne Hathaway, tapi dalam versi mulut sedikit lebih lebar dan maju.  Aku masih sedikit terpesona dengannya saat kami berbasa-basi sebentar, berbagi obrolan tentang parahnya macet di jalanan ibukota seolah-olah dia baru tiba di Jakarta kemarin sore, juga obrolan tak penting tentang betapa cerahnya cuaca hari ini, yang sebenarnya bagiku terik setengah mati dan sama sekali tak pantas disebut cerah.  Dia bercerita bahwa dia menyukai dunia psikologi, selalu tertarik dengan kasus-kasus nyata, selalu ingin belajar, makanya dia sangat excited saat kemarin lusa temanku menghubunginya dan bercerita tentang masalahku.  Aku lebih banyak diam saat dia berceloteh tentang prestasi-prestasinya di bidang pendidikan yang dia tekuni.  Kadang saat dia sedikit menyombongkan diri tentang institusi tempat dia menuntut ilmu, aku menanggapi dengan setengah tersenyum, menarik mulutku ke arah kiri wajah membentuk senyum sebelah.  Aku masih mencoba bersikap senyaman mungkin walau sebenarnya aku mulai mengantuk dan bosan, sampai akhirnya kudengar dia berkata:
 “Oke, mbak Joe. Jadi kemarin…”
WHAT? Pekikku dalam hati.
“What? Apa?”, akhirnya aku keluarkan pekik dalam hatiku tadi.
“Eh, ya… Jadi kemarin…”
“Bukan itu. Mbak?”
“Eh…ehmmm…iya, mbak.”
“Hello? My name’s Joe. And I’m butchy.”
“Oh, maaf. Aku gak bermaksud. Tadi itu kebiasaan aja, spontan. Biar sopan aja…”
“Namaku Joe…”
“Iya, Joe. Sekali lagi aku tadi spontan, gak bermaksud menyinggung. Cuma ingin membuat semua terlihat normal aja…”
Aku mengerutkan dahi.
 “Normal? Memangnya aku gak normal, gitu?”
“Bukan begitu. Maksudku, tadi cuma…” dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Ehmmm, lagi pula memang kamu berbeda bukan? Tidak seperti lazimnya mereka yang…”
Aku tertawa, dan segera memotong kalimatnya.

“Hahaha…aduh, maaf ya. Tapi rasanya kok belum apa-apa aku sudah gak nyaman nih. Kenapa mesti ada pengkotak-kotakkan seperti itu? Lazim, tidak lazim. Normal dan tidak normal?”
Dia mencoba tersenyum, tapi gagal.

“Well… Dalam beberapa pandangan, kasus seperti ini sih, bisa dianggap… tidak normal.”

“Baiklah. Kalau memang begitu. Tapi ini pandanganku: Kalau memang orang sepertiku dianggap tidak normal, kasihan sekali yang normal. Kasihan, tidak tahu betapa menyenangkannya menjalani hidup di atas normal.”
Aku tersenyum, lalu berdiri dan pamit pulang. Ntah kenapa, aku tersinggung sekali. Berlebihan memang, hal seperti itu saja bisa bikin mood-ku turun seketika. Begitulah aku, aku yang mengaku cuek dan tidak peduli, tapi untuk kasus seperti ini, hilang semua rasa cuek-ku. Mungkin karena sifat ini lah, aku jadi sulit memulai hubungan dengan seseorang. Mungkin.

Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan hampa.  Aku memulai hari dengan pikiran melayang tak tentu, kadang memikirkan obrolan dengan mbak psikolog Anne Hathaway KW-13 kemarin sore, juga memikirkan kekhawatiranku selama ini. Mengapa aku begitu tidak percaya diri? Mengapa aku begitu takut dan lemah? Aku berdiri tanpa memakai baju sehelai pun, memandang bayangan tubuhku sendiri di depan cermin kusam yang menempel di pintu lemariku.  Kuperhatikan kedua tonjolan rata di dadaku yang selalu aku sembunyikan, kemudian lama aku memandang kosong ke bagian tubuh di antara kedua pahaku.  Aku memikirkan seks. Bukan karena aku sedang bergairah atau dilanda birahi, aku memikirkannya justru karena aku tidak percaya diri. Buat orang-orang seperti aku dan kaumku, dalam berpacaran, sudah tentu melibatkan hubungan fisik yang lebih dari sekadar berpegangan tangan. Itu yang menyebabkan aku tidak percaya diri. Aku takut suatu hari nanti, saat akhirnya kesempatan itu datang, aku ditertawakan di atas ranjang oleh pasanganku, karena tentu tidak mungkin bagiku untuk bercinta dengan tetap memakai celana dalam, atau menutupi selangkanganku dengan tangan. Itulah inti dari segala kekhawatiranku.  Mungkin terdengar sepele, tapi tidak bagiku.

Aku melangkah ke kamar mandi, membasahi tubuhku dengan air dingin. Segar rasanya. Tiba-tiba aku berpikir untuk segera menyelesaikan semua ini. Apa yang mesti aku takutkan? Bukankah tidak ada yang salah dengan diriku?  Aku normal-normal saja, bukan?  Mengapa aku mesti malu?  Zaman sudah begitu maju, peradaban serta teknologi sudah begitu canggih dan bisa memberi solusi terbaik. Tiba-tiba aku merasa mendapat pencerahan.

Aku bergegas menghidupkan motor dan melaju ke jalan raya. Aku mau ke rumah ibu, aku ingin berbicara dengan ibu. Mungkin memalukan, tapi untuk hal seperti ini, rasanya aku harus bilang pada ibu dan meminta restunya.

Tak sampai setengah jam, aku sudah tiba di halaman rumah. Kulihat pintu depan terbuka. Aku masuk dan mencari ibu. Kulihat ibu sedang duduk di depan pintu samping sambil mengupas buncis. Beliau tampak kaget namun senang. Aku menunduk dan memeluknya dengan penuh rasa rindu dan sayang. Aku duduk bersila di depan ibu. Beliau memandangku dan tersenyum.
“Sayang, kok gak bilang-bilang mau pulang. Tumben. Ada apa?”
Ibu sepertinya tahu kalau aku sedang gundah. Naluri seorang ibu, mungkin. Seorang ibu akan selalu tahu dengan apa yang anaknya rasakan. Aku terdiam, sedikit bingung dan malu. Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk mengutarakan isi hatiku.
“Ibu. Aku ingin disunat…”