Tuesday, January 29, 2013

Agar Tidak Lupa Mengingat




Rasanya menyenangkan bisa menginjakkan kaki di tanah merah ini sekali lagi. Sudah lama aku tidak merasakan tanah yang becek oleh air hujan, dan menyentuh dedaunan yang basah entah oleh embun atau sisa hujan. Berada di udara terbuka sepagi ini adalah hal yang langka. Biasanya, bangun pagi adalah perjuangan bagiku, tapi hari ini aku sudah di luar rumah saat matahari masih malu-malu bersinar kuning kemerahan di ujung timur sana.

Aku kembali. Kembali menginjakkan kaki di kota tempatmu berasal. Kembali ke kota tempat kita bertemu. Kembali ke Bandar Lampung. Kota yang walaupun kuanggap sebagai kota kecil dan terkadang membosankan, tapi ternyata adalah kota terbesar ke-11 di Indonesia. Kota yang kupandang semrawut dan tak punya identitas, tapi ternyata adalah kota yang dianggap menjanjikan di masa depan. Kota yang meski kini banyak berubah, tapi kukenang tetap sama seperti dulu saat aku memulai hidup baru denganmu.

Lereng bukit tempatku berdiri sekarang ini tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk melihat pemandangan bagian selatan kota yang berbatasan langsung dengan laut berwarna biru kehijauan dan berkilat karena pantulan cahaya matahari pagi. Dulu kita pernah kemari, ingat tidak? Waktu itu kita ke sini pada malam hari, untuk melihat bintang dan lampu-lampu kota. Nanti kita ke sini lagi, ya? Naik motor saja, seperti dulu.

Jangan lupa, kita nanti harus mampir ke restoran di puncak bukit, makan malam sambil menikmati pemandangan kota menghampar seperti yang dulu biasa kita lakukan setiap kali aku baru gajian. Sempatkan pula untuk jalan-jalan ke hutan kecil di lembah pinggiran kota lokasi foto pra-pernikahan kita dulu. Alun-alun di tengah kota yang biasa kita datangi hanya untuk sekadar makan jagung bakar di malam hari, jangan sampai terlewatkan. Setiap kali melewati jalan di lereng bukit sebelah barat kota, kita pasti tergoda untuk beli durian yang baru dipetik dari kebun. Kalau sempat kita nanti ke sana, dan lanjut mengunjungi pantai-pantai di pesisir kota tempat kita biasa duduk-duduk diam tak banyak bicara. Kalau sempat.

Semoga kita sama-sama punya cukup waktu. Meskipun aku cinta kota ini, aku tak bisa berlama-lama. Aku datang hanya untuk sekadar singgah dan menengok masa lalu. Menengok masa lalu agar aku tidak lupa bagaimana mengingat.

Aku tak pernah tahu kapan aku bisa benar-benar kembali. Mungkin nanti suatu hari, dan jika saat itu tiba, kupastikan aku tak akan membiarkanmu tertinggal lagi.

Sudah pagi, kamu harus bangun dan kembali memulai hari. Nanti kalau aku singgah lagi ke mimpimu, akan kuceritakan seperti apa surga.


Bandar Lampung, 28 Januari
― si tak kasat mata yang sok terlihat

Satu Jam Lebih Sedikit


Untukmu yang tak henti memandangku…

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan seseorang yang baru kukenal lewat foto dan obrolan singkat di telepon, tapi entah kenapa kali ini aku sedikit gugup. Kau tak jauh berbeda dengan yang aku lihat di foto. Memang kulitmu sedikit lebih gelap, dan rambutmu lebih panjang, tapi selebihnya kau tampak sama dengan yang kubayangkan.

Aku sudah cukup sering bertemu dengan orang sepertimu, tapi tak satu pun dari mereka menyulitkanku seperti sekarang. Ada sesuatu di dirimu yang membuatku lupa akan aturan yang kubuat sendiri. Biasanya, aku tidak pernah melibatkan emosi dan perasaan di pertemuan pertama dengan seseorang. Tapi hati memang tidak bisa diatur, perasaan dan emosi tak jelas muncul tak diduga entah dari mana, kapan, mengapa, dan bagaimana.

Apa kau percaya cinta pada pandangan pertama? Aku tidak. Rasanya terlalu terburu-buru menafsirkan rasa tertarik saat pertama kali melihat seseorang sebagai cinta. Pandangan pertama saja tidak cukup untuk membuatku jatuh cinta, kecuali bila seseorang itu kupandang untuk kali pertama paling tidak selama satu jam. 

Sudah satu jam lebih sedikit kita di kamar ini, tidur bersisian di ranjang yang sama dan saling memandang dalam diam. Apa kau merasakan yang aku rasakan? Kalau iya, aku rela tidak kau bayar.


27 Januari
― si murahan yang sok berkelas

Buaya Tak Pernah Ingkar Janji


Apa kabar, Kamu? Iya, aku kangen kamu. Iya,aku juga tidak tahan berlama-lama tak bertegur sapa denganmu.

Kalau kamu masih menganggap aku seperti buaya, silakan saja. Buaya itu dalam bahasa Inggris disebut alligator. Oh, sudah tahu? Iya, ada juga yang disebut crocodile, tapi berbeda jenis. Bukan, aku bukan ingin membahas tentang perbedaan alligator dan crocodile, apalagi membicarakan merk pakaian dalam pria. Kamu tahu, tidak? Alligator atau buaya itu dikenal sebagai hewan yang setia sama satu pasangan saja seumur hidupnya. Jadi kalau kamu sebut aku buaya, aku tak akan marah. Aku juga setia sama satu pasangan saja. Meski tidak pernah tahu apakah akan setia seumur hidup atau tidak, tapi selama aku menjalin komitmen dengan seseorang, maka hanya dengan dia kesetiaanku kujaga.

Kamu jangan tertawa. Aku bukannya senang kamu samakan dengan hewan. Aku takut buaya. Bagiku, buaya itu hewan menyeramkan yang tidak ada lucunya sama sekali. Oh, kamu tertawa bukan karena itu? Kamu menertawakan kesetiaan yang kukatakan barusan? Tentu saja aku setia, aku cuma punya kamu. Biarpun aku tampan begini, aku masih ingat aturan-aturan yang membatasiku. Masih kurang cukupkah untuk bisa kamu anggap setia?

Jangan pernah percaya dengan apa yang kamu dengar dari orang lain. Bagaimana kamu bisa percaya pada orang-orang yang bahkan hal-hal yang tidak mereka katakan saja tidak sepenuhnya benar? Jangan pernah mengambil kesimpulan sendiri dari apa yang kamu lihat dan rasakan. Kamu harus lebih percaya padaku. Kamu bahkan harus lebih percaya ke dirimu sendiri bahwa pesonamu terlalu kuat dan mampu menahanku untuk tidak berpaling darimu. Meski aku kadang terlihat tak dapat menahan diri untuk tidak tertarik dengan yang lain, percayalah bahwa saat aku bilang aku mencintaimu, aku sungguh mencintaimu. Mereka yang kadang menemaniku saat kamu sedang tak bisa, hanyalah teman-teman yang kutemui 1-2 kali saja. Mereka yang kadang menelepon dan mengirim pesan mesra padaku adalah teman-teman yang kukenal dari dunia maya. Mereka bukan siapa-siapa. Apakah aku dan mereka ada apa-apa atau tidak, itu hanya masalah persepsi.

Aku tidak pernah berselingkuh hingga melibatkan emosi. Aku juga tidak pernah main hati dengan orang lain, karena main hati tidak memberi manfaat apapun untukku. Aku lebih suka main tangan atau main anggota tubuh lainnya. Bahkan denganmu, aku pun tidak main hati. Yang kupercaya, hati bukan mainan. Hatimu kau percayakan padaku untuk kujaga. Denganmu, aku jaga hati, bukan main hati.

Aku menikmati kecemburuanmu, maka teruslah mencemburuiku sedikit saja. Selalu menjaga cinta kita tetap di tempatnya, itu janjiku. Seperti buaya, aku tidak ingkar janji. Janjimu? Berjanjilah untuk selalu jadi koala kecilku.


27 Januari
― si perayu yang sok laku

Tak Cukup Waktu


Apa kabar, Kamu-nya aku?

Kau tahu? Aku tidak pernah punya cukup waktu untuk sempat menyampaikan ini kepadamu di menjelang berakhirnya kebersamaan kita. Kalau saat itu aku tidak sempat berbasa-basi memberi salam perpisahan, itu juga karena waktu tak bisa berkompromi. Aku selalu berharap agar waktu bisa berkerja sama untuk tidak berjalan begitu cepat, tapi ternyata tidak bisa. Aku pernah berpikir untuk menghentikan waktu agar rentang antara kita tidak semakin melebar, tapi dari mana aku punya kekuatan untuk itu? Aku juga sempat berniat memutarbalikkan waktu, tapi itu pun tidak mungkin. Mengulang waktu tidak menjamin jalan cerita yang telah diarahkan oleh takdir akan menuju ke akhir yang berbeda.

Akan ada hari saat akhirnya kau mengerti bahwa apa yang pernah kita lewati adalah apa yang akan terus kau bawa sampai nanti. Bila saat itu tiba, kau boleh marah dan boleh menyesal, tapi tetaplah mencoba berbesar hati. Silakan membenciku, atau menangisiku, tapi jangan lupakan aku. Salahkan aku, atau maafkan aku, tapi belajarlah mengingatku sebagai anugerah. Aku akan tetap di tempatku, diam-diam mengawasimu hingga datang masa saat akhirnya kau tak lagi mengenaliku meski aku tak pernah menjauh darimu.

Jadi, maaf kalau aku tidak pernah punya banyak waktu untukmu. Jika banyak rencana tidak sempat terlaksana, simpan saja sebagai impian. Jika banyak janji yang tidak sempat terpenuhi, anggap saja itu candaku. Jika nanti kau merindukanku, temui aku di antara rencana dan janji yang berserak di sela waktu. Aku di sana, menunggumu hadir di antara tidur dan terjagamu.

Aku tidak pernah benar-benar pergi jika kau benar-benar mencari.


26 Januari
― dari aku, masa kecilmu

But Then I Did


I promised you that you would always be the only one in my eyes. You believed that whenever we were on our dates, I would never look at someone else. But then I did.

I promised you that you would always be the only one I ever texted and talked to on the phone. You believed that I would never respond to those who flirted at me. But then I did.

I promised you that you would always be the only one in my heart. You believed that I would never fall in love with someone else. But then I did.

I promised you that I would always be there for you every time you needed me. You believed that I would never leave your side. But then I did.

I promised you that I would always keep all my promises. You believed that I would never break them. But then I did.

I promised you that I would always accept what happened no matter what. You believed that I would never wonder how it would feel like if I were you, and if you were me, and if everything were the other way around. But then I did.

If I were you, I would never believe in anything I said.


January 24
― a man who believed too much

Wednesday, January 23, 2013

Jangan Ada Jarak Sebelum Titik


Untuk Kamu yang Sering Keliru


Saat aku membaca tulisan-tulisanmu, ada beberapa hal yang menarik perhatian. Bukan hanya isi dan cara penyampaiannya, tapi juga tentang kaidah berbahasa. Sebelumnya, maaf aku tidak bermaksud menggurui, apalagi mencari perhatianmu dan mengharap kamu membalas perasaanku. Surat ini juga bukan curahan hati terselubung dalam kalimat-kalimat sarat kode, sama sekali bukan.

Tahukah kamu cara penulisan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai awalan itu berbeda? Ingatlah bahwa “di” yang berfungsi sebagai imbuhan/awalan untuk membentuk kata kerja pasif ditulis serangkai (tak terpisah) dengan kata (kerja) dasar yang mengikutinya. Contoh: “Kalau aku tetap dipandang sebelah mata olehmu seperti yang juga pernah dilakukan orang lain padaku saat aku hanya berharap untuk dicintai, aku bisa apa?”

Selain itu, “di” yang berfungsi sebagai kata depan untuk menerangkan tempat ditulis terpisah dengan kata keterangan tempat yang mengikutinya. Contoh: “Langkahku di jalan ini tak akan terhenti hingga aku tiba di hadapanmu yang kemudian menyadarkanku bahwa aku memang tak akan pernah mendapat tempat di hatimu.”

Jangan lupa untuk tidak memberi spasi sebelum tanda baca di akhir kalimatmu. Titik, koma, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, dan titik dua adalah sebagian contoh tanda baca yang harus ditaruh persis di belakang kata terakhir dalam kalimat, tanpa spasi. Terutama titik. Jangan ada jarak di depan titik setelah kamu selesai dengan kata terakhir dalam kalimatmu. Jangan lagi beri jarak saat tak ada lagi yang ingin kau sampaikan. Jika memang semua telah berakhir, akhirilah dengan tegas. Biarkan jarak pergi dan membawa rasa yang tak lama lagi pasti akhirnya mati.

Terakhir, berhati-hatilah memilih kata. Belajarlah mengenali jenis kata. Cobalah lebih dalam mencari tahu perbedaan kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata keterangan (adverbia), dan kata benda (nomina). Jangan sampai luapan rasa dari hati dan jiwa dalam kalimat panjang lebar yang kamu sampaikan menjadi hilang makna dan tidak dimengerti hanya karena kau keliru memilih kata. Jika kamu tidak lagi bisa membuka hati, maka tutuplah rapat-rapat. Jangan lagi memberi celah, karena seseorang kadang pura-pura bodoh dan mengganggap penolakan halus sebagai harapan.

Saat kamu mencoba jujur tentang perasaan, sebisa mungkin hindarilah kesalahan kecil dalam penyampaiannya. Karena apa yang kamu sampaikan melalui kata menunjukkan bagaimana dirimu sebenarnya. Kalau bahasa tak lagi cukup membuat orang lain memahami kata-kata, apa lagi yang bisa?


23 Januari
― si pengharap yang sok paham

Tuesday, January 22, 2013

Digesek Lecet


“Hello… Hello… Hellooo…”

“Hello, Lina…”, tanpa sadar aku menjawab sapaanmu sambil ikut berdendang lirih mengikuti lirik yang kau lantunkan dalam irama dangdut koplo nan syahdu. Mataku bergerak lincah mengikuti goyanganmu yang penuh kejutan. Itu adalah kali pertama aku melihatmu, dan aku terkaget-kaget. Kaget seperti tokoh dalam sinetron yang sedang memegang piring kosong dan tiba-tiba piringnya terjatuh ke lantai dengan suara keras lalu pecah berserakan. Benarkah apa yang kulihat? Seorang perempuan muda bertubuh aduhai yang dibalut tank-top merah dan hot-pants hitam meliuk di atas panggung. Dengan stocking hitam jala-jala dan sepatu boots berhak tinggi, dia bergerak lincah ke sana dan kemari mengitari panggung. Rambutnya yang hitam kecoklatan sesekali dikibaskannya, kadang dibiarkan terurai acak-acakan menutupi wajahnya. Ah, aku terpesona.


“Digesek… Digesek… Aduh, lecet…”

Belum juga hilang kekagetanku, aku kembali terpana. Terpana seperti tokoh dalam sinetron yang tak dapat berkata-kata saat melihat kekasihnya berkencan dengan orang lain. Benarkah apa yang kulihat? Kau tiba-tiba duduk di atas speaker, bergerak maju mundur dengan elegan dan sukses membuatku menahan napas beberapa detik. Sungguh aksi panggung yang tak terduga. Benarkah lecet? Ah, aku jadi bertanya-tanya.


“Kelihatan, belum? Kelihatan, gak?”

Sambil duduk mengangkangi bibir panggung, kau mendadak bertanya ke hadapan para penonton. Ingin sekali aku menjawab pertanyaanmu di atas panggung itu, tapi aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan sudah kelihatan atau belum. Kalau yang kau maksud itu adalah melihatmu secara langsung, tentu saja belum. Aku belum pernah bertatap muka denganmu. Aku hanya terbiasa mengagumi dari jauh. Aku sudah cukup bahagia bisa melihatmu di layar komputer, di layar ponsel, dan sekarang di layar televisi. Tentu saja aku masih menyimpan harap untuk bertemu denganmu suatu hari nanti. Suatu hari nanti, menghabiskan waktu berdua denganmu sambil mendendangkan tembang “Jarang Pulang” dengan penuh penjiwaan. Suatu hari nanti, mungkin.

Dear @LinaLadyGeboyy, kau tidak mengenalku. Aku hanya satu dari sekian pengagummu. Melihatmu sekarang sering tampil di televisi membuatku terharu. Aku senang karena seiring waktu karirmu semakin menanjak. Perjuanganmu dari bawah hingga sampai seperti sekarang ini belum selesai. Hidup memang keras dan penuh rintangan. Meraih mimpi itu penuh halangan. Jalan menuju keberhasilan pun sarat akan benturan. Teruslah berjuang, Lina. Tetaplah geboy. Jangan cepat lelah karena aral melintang. Jangan cepat lecet karena gesekan. Kelihatan? Ya, aku mulai melihatnya. Melihatmu bersinar.


22 Januari
― si penggemar yang sok akrab

Mengingat Mantanmu



Surat ini seharusnya untuk dia, bukan untukmu. Hanya saja selalu ada janji bodoh ke diri sendiri yang terpaksa ditepati, dan aku tak cukup bernyali untuk melanggar janji itu. Janji tentang mencoba untuk tak lagi mau peduli pada cerita usang seorang tambatan hati di masa lalu.

Kalau suatu hari kau sempat bertemu dia, katakan padanya bahwa tidak semestinya dia menjadi begitu berarti buatmu. Katakan bahwa mestinya dia tidak membuatmu terpesona. Katakan juga bahwa mestinya dia tidak pernah membuatmu jatuh cinta.

Jujur, aku membencimu. Aku benci karena kau pernah membantunya bertahan melewati masa-masa sulit. Aku benci karena kau pernah mendengar keluhan-keluhannya. Aku benci karena kau membuatnya menangis saat kalian memutuskan untuk sama-sama pergi. Aku benci karena kau memainkan peran yang sama denganku di salah satu episode kisah hidupnya.

Masa lalu adalah masa lalu, yang sudah lewat itu sudah lewat, namanya juga numpang lewat. Mantan ya mantan, aku dan kau cuma cerita yang telah selesai, tapi tetap saja aku tidak menyukaimu. Kau seharusnya tidak pernah hadir dan menjadi bagian hidupnya. Kau seharusnya berhenti mengingat-ingat kenangan lama saat kalian masih bersama. Kau dan masa lalu hanya membuat aku dan masa kini tidak berarti baginya. Kau membuat mimpi-mimpiku bersamanya jauh dari indah. Kau membuat langkah kami penuh kekhawatiran tentang masa lalu, bukan kebahagiaan tentang masa depan. Kau menyebalkan.

Tidak bisakah kau kenang saja dengan indah apa yang pernah ada antara kau dan dia? Tidak usah lagi menambah janji hanya untuk diingkari. Cukup sudah kau bermonolog dan bicara tentang penyesalan. Jangan lagi menulis surat untuk diri sendiri. Kita tampak menyedihkan, kau tahu?


21 Januari
― si penyesal yang sok ikhlas

A Stranger In Front of Me


To you, a stranger in front of me.

I don’t know you, and you don’t know me. But I’ve seen you naked, in my naked mind. No, I’m not a pervert. I’m just somebody with a human touch who can’t help but being obsessed to someone with taste. You, you’re tasty.

I don’t know you, and I don’t want to know. You and your being mysterious are a package that turns me on, and that’s all I need to know. I want you, but I’m jealous of you. Have you ever felt like wanting somebody but at the same time hating them? That’s what I’m feeling at this moment.

Damn, I hate you right now, but I’ll do anything to make you love me. Nothing that I want but the fact that while you’re looking at me too, you’re thinking the same way. How can you be so awesome while I feel like a loser here?

Looking at you and your existence now gives me nothing but insecurity. You’re that ideal person I’ve been dreaming all my life whom I missed when I needed the most. You’re the kind who loves seeing me suffering, or are you not?

I never knew how Snow White’s stepmother felt when she was talking to her magic mirror on the wall, until right now. It must be hard for her to face what reality brought her. Just like what it brings to me. Reality is a better place to live, but sometimes I feel like I want to live somewhere else. How does it feel to live on the other side of mirror?


January 20
― a man and his reflection

Saturday, January 19, 2013

Jadikan Biasa


Untuk Kamu yang Selalu Mengabaikanku


Tadinya aku ingin menulis surat dalam bahasa yang hanya kita berdua mengerti, sebelum akhirnya aku sadar kalau setiap orang mengerti bahasa cinta. Tapi kamu bukan setiap orang. Kamu berbeda. Kalau kamu tidak mengerti apa yang kutuliskan di sini, itu wajar saja. Kamu hanya butuh belajar.

Tidak semua orang dianugerahi kemampuan berbahasa yang baik, mungkin kamu termasuk orang seperti itu. Pesan singkat yang rutin aku kirim kepadamu hampir tiap jam, tidak pernah kamu balas lagi. Pasti karena kamu tidak mengerti isinya, hingga bingung mau balas apa. Tiap kali aku meneleponmu, rasanya aku seperti sedang mengoceh sendiri. Aku bicara sampai teleponku basah oleh cipratan air ludah, kau hanya balas dengan gumaman lirih seadanya. Pasti karena kamu kurang bisa menangkap apa yang kubicarakan, tapi kamu malu bertanya. Saat aku mencoba berkelakar, jangankan senyummu kudapat, yang ada malah kulihat matamu basah. Kenapa kamu sekarang menjadi pribadi yang begitu rumit?

Bukan, kamu bukan bodoh. Kamu hanya lemah dalam memahami makna. Kamu hanya malas memperkaya perbendaharaan kosakatamu. Entah kapan kamu akan menguasai bahasa cinta tingkat dasar kalau kamu sendiri tidak mau berusaha. Entah kapan kamu akan bisa berkomunikasi secara efektif dalam bahasa yang sedang dipelajari bila kamu sendiri tidak pernah menggunakannya. Padahal cara tercepat mempelajari bahasa itu adalah dengan membiasakan diri.

Bahasa ini tidak mengenal tenses. Tidak ada bedanya cara kamu mengutarakan emosi yang kamu rasa di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Bahasa yang mengenal rasa sebagai nomina; yang kamu rasakan saat nyaman bersamaku. Bahasa yang membedakan rasa sebagai adjektiva; yang terpancar di dirimu saat merasakan keberadaanku. Bahasa yang juga membuat rasa menjadi verba; yang seringkali kita lampiaskan lewat sentuhan.

Aku tidak mengerti kenapa kemampuanmu dalam berbahasa bisa hilang begitu saja. Apa karena terlalu banyak kesalahan kata dan struktur dalam kalimat-kalimatku? Harusnya kamu mengerti bahwa bila kita adalah bahasa, maka kamu adalah frasa favoritku. Tak akan aku peduli seberapa tidak sempurnanya dirimu, selama aku memahami pesan yang kau sampaikan. Karena bila takdir adalah bahasa, maka kamu satu-satunya suratan tersiratku.

Kalau bahasa saja tidak cukup untuk membuatmu menyadari keberadaanku, apa lagi yang bisa? Belajarlah lebih tekun, jangan takut membuat kesalahan. Pahami bahasa ini dan jadikan biasa. Kelak dirimu akan mengerti bahwa meski aku pergi, doa yang kau panjatkan tetap sampai padaku. Cepatlah, waktuku tak banyak, lewat 40 hari aku tak akan ada di dekatmu lagi.


19 Januari
― si pengharap yang sok yakin

Katanya Tak Lari Ke Mana


Teruntuk Jodoh yang (Katanya) Tak Lari Ke Mana


Ingatkah kamu saat kita bertemu untuk kali pertama? Saat itu aku beranjak remaja, suaraku baru saja pecah, rambut-rambut halus di beberapa bagian tubuh baru saja tumbuh, dan mimpi-mimpiku baru saja berganti jalan cerita. Dalam mimpiku, sosokmu hadir dalam berbagai karakter yang kamu mainkan dengan penjiwaan ala para bintang peraih piala Oscar. Beberapa kali kita beradu peran, walau aku tak pernah tahu bagaimana rupamu.

Ingatkah kamu saat aku sibuk menjalani masa remajaku hingga aku lupa padamu? Aku terlalu menikmati indahnya pergaulan, menekuni hal-hal baru, mengidolakan beberapa pesohor, dan memacu langkah agar tidak ketinggalan zaman. Tak pernah terpikir olehku untuk mendatangimu lagi, namun aku cukup yakin kalau kamu tak akan lari.

Ingatkah kamu saat aku beranjak dewasa dan mulai kehilangan teman? Satu per satu para sahabat melangkah pergi saat jalan menuju hidup baru terbentang di depan mereka, sementara langkahku masih di situ-situ saja. Aku mulai menikmati kesendirianku, namun sesekali masih kuingat keberadaanmu meski aku tidak pernah benar-benar mencari.

Ingatkah kamu saat akhirnya aku mencoba menemuimu? Katanya jodoh tak lari ke mana, tapi kenapa saat aku datang, kamu tidak ada di tempat?

Hai jodoh yang (katanya) tak lari ke mana, kalau kamu memang jodohku, berhentilah berkelana kesana kemari. Kembalilah ke tempat biasa, di sana aku menunggumu. Datanglah agak cepat, nanti aku keburu diambil orang.


16 Januari
― si penanti yang sok sabar

Kepada Sang Juara



Kepada: Juara I English Speech Contest


Hey, I never met you, and this is crazy. But here’s my letter, read it maybe?

Kita mungkin belum pernah bertatap muka secara langsung, tentu saja kamu tidak kenal aku. Aku pun tidak mengenal kamu secara personal. Aku bahkan lupa namamu, dan wajahmu pun hanya samar-samar kuingat. Aku hanya pernah mendengar cerita tentangmu; seorang pelajar yang dikenal pandai serta sering menjadi juara di berbagai lomba antar sekolah. Lantas, bagaimana aku bisa tahu tentangmu?

Aku mengenal keberadaanmu dari seorang Tukang Jahit yang aku tidak ingat namanya. Seorang Tukang Jahit yang aku temui di suatu sore saat matahari mulai bersinar lemah dan terpaksa mengalah pada gelapnya malam yang menyeruak tak sabar. Dia tinggal di rumah kecil dalam gang sempit tepat di sebelah kiri masjid dekat tempatku mengajar. Rumah kecil itu berteras sempit, dan di dinding depannya ada plang kayu sederhana putih kusam dengan tulisan “Vermak Jins” berwarna merah luntur.

Beberapa anak kecil yang berkumpul di teras menyambut kedatanganku, kata mereka, bapak tukang jahitnya sedang sholat Maghrib. Aku dipersilakan menunggu di ruang tamu rumahnya yang nampaknya juga berfungsi sebagai tempat dia bekerja. Kulihat ada 2 mesin jahit usang di situ. Di seberang ruangan, ada lemari kaca berisi piala-piala. Aku beranjak mendekat, tertarik ingin tahu piala-piala apakah itu. Kubaca tulisan di bagian bawah masing-masing piala. Hampir semuanya piala hasil lomba antar sekolah, ada yang tingkat kota, ada yang tingkat provinsi. Lomba pidato Bahasa Inggris, lomba baca berita, lomba Scrabble, dan beberapa lomba mata pelajaran lainnya khas pelajar SMA. Predikatnya pun bermacam-macam, ada yang juara pertama, kedua, ketiga, sampai juara harapan. Ada satu piala yang menarik perhatianku, piala bertuliskan “First Winner of Speech Contest Economics’ English Club 2011”. Seingatku, aku menjadi salah satu juri dalam lomba tersebut.

Aku mengalihkan pandangan ke dinding di sebelah kanan lemari kaca itu. Di sana tertempel beberapa piagam dan foto. Piagam bertuliskan hal yang sama seperti piala-piala dalam lemari kaca. Piagam penghargaan menjuarai berbagai lomba antar pelajar sekolah. Tertulis nama seseorang di situ, nama yang hanya kubaca sekilas. Kemudian kupandangi beberapa foto yang menempel di dinding yang sama. Ada foto keluarga, foto sekumpulan pelajar berseragam SMA, foto seorang pelajar laki-laki memegang piala dan piagam, dan foto yang paling besar: foto seorang anak laki-laki berusia sekitar 17 tahun-an yang berwajah ramah dan menyenangkan, tapi tidak kukenal sama sekali. Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah aku menilai penampilan anak laki-laki itu dalam suatu lomba pidato, tapi sama sekali tidak terbayang olehku.

Tak lama, tukang jahit yang kutunggu keluar menemuiku. Seorang bapak paruh baya yang masih mengenakan sarung dan peci, dan wajahnya tampak lelah dan tak bersemangat. Dia tersenyum tipis saat menanyakan keperluanku. Saat urusan jahit-menjahit selesai, aku iseng bertanya. Bukan iseng sebetulnya, tapi memang penasaran. Aku ingin tahu apakah anak lelaki dalam foto di dinding adalah pemilik para piala dan piagam kemenangan di berbagai lomba itu.

“Ini piala-piala siapa, Pak?”

“Anak saya, dia sering dikirim oleh sekolahnya untuk ikut lomba Bahasa Inggris, dan selalu dapat juara.”, jawab bapak tukang jahit itu dengan ekspresi wajah yang tiba-tiba bersemangat.

“Oh. Piala yang ini, Juara I Lomba Bahasa Inggris, ini kalau tidak salah saya jadi jurinya lho.”

“Oya? Kebetulan ya.”

“Anak Bapak yang ini ya?”. Aku menunjuk ke foto pelajar SMA di dinding itu.
 
“Iya. Itu dia, waktu masih SMA.”

“Oh… Saya sih tidak ingat wajahnya. Hebat ya, banyak sekali piala dan piagamnya, selalu jadi juara. Sekolah di mana, Pak?”

“Di SMK 2. Dia pintar, dan rajin belajar juga. Anaknya baik-baik sekali. Merokok pun tidak.”. Sang bapak menjawab sambil tersenyum.

Saat itulah aku mengenalmu untuk pertama kalinya, meski sekarang aku lupa namamu, dan juga lupa wajahmu. Yang kuingat adalah betapa bangga ayahmu akan dirimu. Ekspresinya saat bercerita tentangmu menggambarkan hal itu. Terlihat jelas bahwa beliau sangat mengasihimu. Aku pun yakin bahwa kamu juga sangat sayang pada ayahmu.

“Sekarang dia udah lulus ya Pak? Lanjut kuliah di mana?”. Aku kembali bertanya pada ayahmu, sambil sedikit berharap semoga kamu mendapat beasiswa sehingga tidak terlalu membebani orang tuamu.

Ayahmu tersenyum sambil memandang fotomu di dinding, kemudian menjawab pertanyaanku sambil menghela nafas.

“Itulah ya, Mas. Anak baik-baik biasanya malah cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Dia berpulang sebelum sempat lulus sekolah.”

Aku terdiam. Ayahmu pun terdiam.

Sampai hari ini, setiap kali aku melewati gang sempit sebelah masjid dekat tempatku mengajar, aku masih sering mengingat kisah ayahmu dan anak lelakinya: kamu. Aku tidak tahu persis pelajaran apa yang bisa kuambil dari perkenalanku dengan ayahmu dan dirimu. Aku hanya bisa ikut merasa bangga akan dirimu, seperti ayahmu. Hanya saja, kita tidak sempat berkenalan.

Nice to know you, even if we never met. You know you win, and life doesn’t give you a chance to lose.
Salam kenal, hai Juara.


16 Januari
― si pengajar yang sok akrab

Monday, January 14, 2013

Tinju Lengan

Kepada Yth:
Sdr. Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza
di Linimasa



Dengan mengucap lafaz naudzubillah,

Menindaklanjuti surat edaran Pos Cinta nomor: 02/30HMSC/I/2013 tanggal 14 Januari 2013 perihal Surat Untuk Selebtweet, saya yang dengan terpaksa bertanda tangan di bawah ini menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Menimbang:
Satu:
Bahwa Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza sebagai seorang yang #lakibanget telah melakukan praktik memikat wanita-wanita muda dengan modus meramal berdasarkan foto sehingga mengakibatkan banyak korban terperdaya mengirimkan foto diri mereka.

Dua:
Bahwa Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza adalah contoh lelaki #lakibanget yang bisa menyampaikan pesan-pesan puitis dalam tulisan romantis tanpa kesan cengeng dan lembek serta mampu menyuguhkan tulisan-tulisan yang layak dikagumi oleh lelaki lainnya dalam batas-batas kewajaran namun hampir selalu berhasil membuat pembacanya tidak pernah sekalipun tidak menghela napas setiap kali sampai di titik terakhir yang menutup kalimat terakhir tulisannya.

Mengingat:
Bahwa entah kenapa dan bagaimana dari sekian banyak teman di linimasa, hari ini saya yang merasa sedikit tidak enak badan dengan sedikit merinding memutuskan untuk memilih menulis surat kepada Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza.

Memperhatikan:
Bahwa surat kepada seorang laki-laki, dari seorang laki-laki tidak akan ditulis dengan menye-menye puitis berdasarkan asas #lakibanget dan dilandasi nilai-nilai persaudaraan antar lelaki.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

Kesatu:
Sebelum Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza tertawa karena mendapati dirinya menerima surat ini diharapkan untuk dapat mengingatkan dirinya sendiri bahwa apa yang tertulis di sini tidak akan merusak suasana kondusif yang selama ini terjalin baik di linimasa.

Kedua:
Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza tetap diperbolehkan melakukan praktik memikat wanita-wanita muda dengan modus meramal berdasarkan foto asalkan mampu menyelipkan nilai-nilai edukasi di setiap praktiknya.

Ketiga:
Saudara Faizal Reza alias Ikal alias @monstreza diharapkan untuk selalu menjaga gaya tulisannya yang puitis nan tegar khas lelaki pecinta tangguh serta mampu menggugah hati setiap pencinta namun tetap jauh dari kesan cengeng, lembek, lemah dan sebagainya yang dapat mengurangi nilai-nilai #lakibanget.

Keempat:
Setiap pelanggaran dari keputusan yang termaksud dalam butir (Kesatu), (Kedua) dan (Ketiga) tersebut di atas akan berakibat hal-hal yang tidak diinginkan dan akan diatur dalam keputusan yang akan dituangkan dalam Surat Keputusan lebih lanjut bila mampu.

Kelima:
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam butir (Kesatu), (Kedua), (Ketiga), dan (Keempat) di atas berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila sedang tidak ada kerjaan lalu ditemukan kekeliruan di kemudian hari maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Demikian surat ini dibuat dan disampaikan dengan tidak sadar dan sebenar-benarnya dengan dibawah tekanan. Atas perhatian Saudara, diucapkan lafaz istighfar.


Ditetapkan di entah di mana
Pada tanggal entah berapa

Tinju lengan,


Denny Ed

Ternyata Tidak


Kepada: Kamu

Ingatkah kamu?

Saat aku ketahuan telah diam-diam mengecek ponselmu? Aku buka kotak masuk dan kotak keluar pesan singkat-mu, aku periksa email-mu, aku jelajahi foto-foto yang kamu simpan di galeri ponsel, namun tidak kutemukan satu hal pun yang mencurigakan. Aku pikir kamu akan marah. Ternyata tidak.

Pernah juga aku mencoba untuk mengatur pergaulanmu. Kularang kamu berteman dengan sebagian teman-temanmu yang kuanggap akan membawa pengaruh buruk kepadamu, kubatasi juga waktumu untuk bersenang-senang dengan sahabat-sahabatmu. Aku pikir kamu akan memberontak. Ternyata tidak.

Sekali waktu aku pernah membuatmu cemburu saat kamu pergoki aku yang sedang bercanda mesra dengan seseorang yang kukenal dari dunia maya. Aku berkeras menutupi kebenaran, berharap kamu percaya walaupun aku sudah tertangkap basah. Aku pikir kamu akan meninggalkanku. Ternyata tidak.

Sempat pula aku membuatmu menangis saat aku tak dapat menahan emosi di tengah pertengkaran hebat kita. Aku lempar kamu dengan botol minuman ringan yang masih setengah berisi air soda berwarna merah muda, yang walau hanya mengenai bahumu, cipratannya sukses membuat baju kesayanganmu basah dan penuh bercak merah yang tak bisa hilang lagi. Aku pikir kamu akan membenciku. Ternyata tidak.

Satu kali aku membuatmu jadi korban keegoisanku, satu malam di minggu terakhir bulan Desember setelah kamu lembur menjelang tutup tahun di kantormu, kamu terpaksa pulang sendiri di larut malam karena aku malas menjemputmu di tengah dinginnya gerimis. Aku sedang meringkuk dalam hangatnya selimut tepat di saat yang sama ketika motor ojek yang kau tumpangi jatuh tergelincir oleh licinnya aspal basah hingga membuatmu terpental menghantam pembatas jalan. Aku pikir kamu akan berhasil melewati masa kritis di ruang ICU rumah sakit itu. Ternyata tidak.

Maafkan aku yang tidak sempat meminta maaf.

14 Januari,
― si penyesal yang sok tegar