Thursday, February 27, 2014

Lebih Dari

Dear Bets...

Aku ingin sekali melihatmu memakai kebaya yang kau ceritakan dalam suratmu.
Karena dulu, aku sempat membayangkan bahwa suatu hari aku akan berdecak kagum melihatmu berjalan menaiki tangga masjid dibalut kebaya keemasan.

Sekarang, tak lama lagi, mungkin bayanganku itu akan terwujud. Decak kagum dan rasa haru akan kurasakan saat akhirnya melihatmu berjalan ke pelaminan. Melihatmu tampak depan, kemudian melihatmu tampak belakang saat pandanganku mengekorimu hingga kau tiba di kursi pengantin. Tapi aku tak akan bisa melihatmu dari samping dengan ekor mataku. Karena bukan aku yang berjalan di sisimu, dan menyamai langkahmu pelan-pelan.

Duduk di kursi undangan pun sepertinya terdengar menyenangkan. Aku akan pulang untuk itu, Bets. Aku tidak mau melewatkan hari bahagiamu dengan menerka-nerka bagaimana. Aku ingin ada di sana.

Ada di sana, untuk melihatmu bahagia.
Untuk turut mendoakan.
Bukan doa restu. Karena menurutku, seorang mantan tidak layak memberikan restu. Cukup doa saja.

Meski di mataku, kau lebih dari sekadar mantan.


27 Februari
— turut mendoakanmu

Tuesday, February 25, 2014

Sempat Erat

Dear Bets,
Aku di Paris sejak akhir pekan kemarin. Maaf lupa menceritakannya padamu. Aku terlalu sibuk menikmati romantisnya kota ini. Juga sedikit sibuk berwisata kuliner. You know, the famous French cuisine. So far, I've had French Toast, French Fries, and a little bit of French Kiss.

No, I was kidding. Kau tahu aku, candaan tidak lucuku yang sering kau tertawai karena saking garingnya, bukan karena lucunya. Well, at least I got your laugh. Your beautiful laugh.

Masih sering tertawa, Bets?
Apakah dia sering membuatmu tertawa? Dia pria yang lucu kan, seingatku begitu. Aku tidak sabar untuk bertemu kalian berdua. Nanti saat kita bertemu, kau adalah seorang istri. Bukan lagi dirimu yang dulu kukenal. Tapi hal itu tak akan mengubah dirimu, kan?

Tetaplah jadi seorang perempuan baik hati dan menarik, seperti dirimu yang kukenal selama ini.

Kau beruntung, Bets.
Dan dia lebih beruntung, telah memenangkan hati seorang perempuan sepertimu.

Aku tidak sedang cemburu.
Aku hanya mensyukuri apa yang sempat aku punya.
Aku bersyukur atas apa yang tidak lagi kumiliki.

Aku memang sempat menggenggam tanganmu erat, tapi dia memelukmu lebih hangat.

Semoga dilancarkan, Bets.


February 25,
— a stranger in Paris

Sunday, February 23, 2014

Tapi Nanti

Dear Bets...
Pernah terpikir tidak, kenapa rangkaian surat kita makin ke sini, yang dibahas makin berat saja? Kenapa dulu kita jarang sekali seperti ini, bicara panjang lebar dari hati ke hati, menyuarakan hal-hal yang mungkin kita pendam saja? Atau mungkin karena kita dulu sudah terlalu nyaman dengan yang kita rasa, dengan apa yang ada antara kita? Mungkin.

Begitu nyamannya aku bersamamu dulu, hingga aku lupa untuk bicara tentang kejujuran hati. Aku sibuk menikmati saat kita saling bercanda, tertawa, berbagi cerita tentang hal-hal yang kita alami saat sedang tidak berdua. Aku menikmatinya, sangat. Apa yang pernah ada dulu adalah saat-saat menyenangkan. Tidak pernah tidak kukenang dengan indah.

Tapi aku lupa, bahwa tidak selamanya membohongi diri sendiri itu akan berjalan sempurna.

Kini, aku sudah jujur kepada diriku sendiri. Nanti, akan kuceritakan padamu tentang kejujuranku.
Tapi nanti, setelah kuhabiskan secangkir kopi yang mengingatkanku padamu.


February 23,
— honesty's new friend

Friday, February 21, 2014

Dua Kepingan

Dear Bets,
You still love puzzles, don't you?

Membaca suratmu membuatku membayangkan bahwa kita adalah dua kepingan permainan acak gambar. Dua kepingan yang pas saat disatukan, namun tidak saling melengkapi. Saat kita bersatu, kita tidak menghasilkan gambar yang seharusnya muncul saat semua kepingan terpasang. Ada masa saat kita akhirnya menemukan kepingan lain yang tidak hanya cocok disatukan, tapi juga saling melengkapi. Dengan kepingan lain itu, tergambar kesesuaian yang sudah seharusnya.

Kurasa kau sudah menemukan kepingan lain itu. Kuharap gambar yang tersusun pun memang sesuai dengan yang kau kehendaki.

Dan kita, akan selalu bisa menjadi dua kepingan yang menyusun gambar berbeda. Akan ada masa saat kita akhirnya saling melengkapi, dalam gambar yang oleh siapapun melihatnya, mereka melihat persahabatan.

Dan bila saat itu tiba, kupastikan itu adalah gambaran terbaik tentang dua orang yang pernah saling mencinta.


February 21
— your other puzzle's piece

Wednesday, February 19, 2014

Silly Sunflower

Dear Bets,
Aku menulis surat ini dengan terburu-buru. Aku ketinggalan pesawat sore, dan akhirnya terpaksa pindah ke penerbangan terakhir malam ini.

Penerbangan terakhir.
Saat aku meninggalkan Indonesia pun aku sempat ketinggalan pesawat, untung saja maskapai yang kugunakan saat itu bersedia mengubah jadwal penerbanganku ke penerbangan terakhir.

Tentu saja kau tidak tahu itu.
Tentu kau tidak tahu kenapa saat itu aku bisa terlambat. 

Satu lagi cerita aku kuak untukmu.
Hari itu, sedari siang aku di depan kantormu. Menunggu kesempatan lain untuk melihatmu sekali lagi. Aku menunggu di kafe depan kantormu, dengan bercangkir teh, dan kopi. Tapi aku tidak pernah melihatmu. Tidak sama sekali.

Aku tahu aku akan terlambat jika menunggumu hingga jam pulang kerjamu tiba. Jadi, aku cuma bisa menitip pesan dan salam untukmu.

Kau ingat ada sebuah vas bunga besar dengan bunga matahari tiba di mejamu?
Konyol sekali, bunga matahari dalam vas yang lebih pantas disebut guci.

Itu dariku.
Sebentuk salam dariku yang penuh syarat kutitipkan ke dia.

Iya Bets, aku mengenal dia.


February 20,
— silly florist

Monday, February 17, 2014

Bukan Kita

Dear Bets,
Ada satu yang kau (mungkin) tidak tahu. Sesuatu yang tidak sempat, dan tidak pernah kusampaikan padamu. Pada satu titik saat aku memutuskan untuk menuju arah berbeda dari jalan yang kita tempuh bersama, aku berhenti. Aku mencoba meyakini satu hal yang tidak pernah kuyakini sebelumnya: mengikatmu dengan janji resmi.

Saat-saat bersamamu adalah saat-saat bahagia. Bersamamu kudapat manisnya perhatian, tapi getirnya pikiranku tak pernah pergi. Kala menghabiskan waktu denganmu, kudapatkan bahagianya tertawa, tapi lirihnya desahan gelisah jiwaku tak pernah hilang.

"There is no room for anyone else.", katamu.
"There was no room for anyone else.", katamu juga.
Bagiku, "There was never a room for us."
Mungkin terdengar menyakitkan, mungkin terdengar sombong, mungkin terdengar egois. Tapi menurutku, mungkin tidak.
Mempertahankanmu, justru adalah hal paling egois yang kulakukan. Karena itu, aku melepasmu.

Ada yang salah dengan kita?
Iya.
Apa yang salah dengan kita?
Tentu saja, karena ada "aku" di dalam "kita" itu.

Dear Bets,
Aku merindukan kamu, bukan kita.


February 17
— a selfish has-been of yours

Saturday, February 15, 2014

Best Actor

"Kamu telah menunjukkan kepadaku begitu banyak kemungkinan dalam hidup. Dan kamu pernah membuat aku tersenyum, kamu pernah membuat aku bahagia, kamu juga pernah membuat aku sedih. Tapi di atas semua yang pernah terjadi atasku mengenai kamu, kamu pernah membuat aku mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah melupakan itu."

Dear Bets,
Akan kusimpan kutipan di atas yang kudapat dari tulisan dalam surat terdahulu. Surat terakhirmu yang kubaca berkali-kali, dan selalu terhenti saat aku sampai di penggalan kalimat-kalimat itu.

Betapa kamu yang dengan deretan kata sederhana kembali menggugah emosiku. Kamu dengan gambaran sederhanamu mampu memainkan kembali beragam adegan kilas balik dari satu babak kisah hidupku.

Tidak pernah aku menoleh ke belakang sejauh ini. Tidak, sejak aku akhirnya berhasil belajar membiabesakan diri bahwa di hari-hariku tak ada lagi kamu.

Tapi hidup bukan tentang kisah lama saja, kan? Saat satu drama selesai, panggung kehidupan selalu siap mementaskan satu pertunjukkan lainnya. Dengan kisah lain, mungkin dengan pemain yang sama, atau dengan pendatang baru.

Kalau kali ini drama kita diangkat kembali ke layar lebar, kita masih jadi bintang utamanya. Dengan pendatang baru yang tak kalah mencuri perhatian penonton. Aku mungkin akan memenangkan Oscar untuk Best Actor. Jangan heran, bersandiwara kan memang hal yang selalu kulakukan dari hari ke hari.

Apakah menurutmu saat ini pun aku sedang bersandiwara, Bets?


February 15,
— on a long and winding road

Thursday, February 13, 2014

Yellow Traffic Light

"...tidak mau kehilangan lelaki luar biasa untuk kedua kalinya."

Dear, Bets...
Membaca kalimat itu dalam suratmu yang lalu, aku terdiam. Kamu kehilangan aku. Kamu ternyata benar kehilangan aku. Aku sedikit sedih dan menyesal mengingat bahwa ternyata saat aku memutuskan untuk menjauh, aku membuatmu kehilangan.

Bets, mungkin sudah jalannya begini ya.
Ujung jalan yang sempat kita tempuh berdua, mengarah ke sini. Meski jalan itu adalah jalan yang kubuat sendiri. Di jalan yang kita susuri bersama, tanpa sepengetahuanmu telah kupasang rambu berhenti. Rambu berhenti yang akhirnya kulanggar sendiri. Kamu berhenti di rambu itu, sementara aku melanjutkan jalanku.

Tidak pernah terpikir olehku bahwa kau akhirnya akan menemukan rambu putar balik. Rambu yang dengan setiamu, kau patuhi. Kau berbalik arah, kembali ke tempat semula. Hingga akhirnya kau memilih jalan lain untuk kau susuri, bersama yang lain.

Bila suatu hari aku kembali menyusuri jalan yang dulu kita lewati, akankah jalan itu memotong jalanmu?
Mungkin kita akan bertemu di persimpangan.
Persimpangan penuh rambu, lengkap dengan lampu lalu lintas.

Mungkin kita akan sama-sama berhenti di arah berlawanan, menunggu lampu hijau menyala.
Atau mungkin lampu kuning yang tak henti berkedip?


February 13,
— di persimpangan Abbey, maybe.

Tuesday, February 11, 2014

English Muffin dan Setumpuk Tentangmu

Bets, or should I call you Elizabeth, like the Queen of England?
Dear Bets, aku sudah di London. Sudah di London!
Everyone speaks in British accent here. Ya iya lah...
Entah kenapa, mendengar orang berbicara dalam aksen British kental memberi kesan berbeda di telingaku. Sepertinya, semua yang mereka katakan terdengar lebih indah. Meskipun hal yang dibahas sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.

Kau ingat kan, dulu aku sering bicara bahasa Inggris dengan aksen sok British, tapi selalu kau tertawakan karena menurutmu aksenku lebih mirip aksen Madura? You know what, sekarang aku pun jadi merasa begitu. Gara-gara kamu, tiap kali aku dengar orang sini berbicara, aku membayangkan aksen Madura.

Bets, aku rindu saat-saat kau menertawai aku. Aku kok tidak pernah marah, ya? Malah ikut tertawa. Harusnya aku sesekali ngambek. Memangnya kamu saja yang bisa keras kepala dan ngambek? Aku harusnya juga bisa begitu. Tapi aku tidak pernah bisa. Kalau aku ikutan keras kepala, siapa nanti yang bisa melunakkan kita.

Bets, aku menulis surat ini di sebuah tea shop pinggir jalan entah apa namanya. Di depanku ada dua cangkir. Satu berisi earl-grey tea, satunya lagi simple capuccino. Aku sendirian, ditemani sebuah English Muffin dan setumpuk kenangan tentangmu.

Kau akan menjalani hidup baru tak lama lagi. Memang bukan aku yang di sampingmu saat hari itu tiba.
Tapi aku akan ada di belakangmu.
Menggenggammu dalam doaku.
Menggenggamnya di sebelah tanganku.


February 11,
— not winter, not spring yet

Sunday, February 9, 2014

Dia Siapa

Bets, do you know?
Aku sudah mengunduh semua lagu yang kau sebut di suratmu yang lalu.
Aduh, lagunya ajaib-ajaib ya.
Aku bahkan tidak tahu, apakah aku menyukai lagu-lagu itu atau tidak hahaha...
Tapi aku putar berkali-kali, kok.
Memangnya sekarang trend lagu di Indonesia adalah yang seperti itu? Unik ya.

Unik, dan sangat Indonesia. Aku sudah menyimpan lagu-lagu itu di pemutar musik-ku. Lumayan untuk menjadi pengingat tentang kampung halamanku saat aku menjelajah belahan dunia lain.

Bets, besok pagi aku berangkat menuju London. Aku sangat bersemangat dan ingin segera berada di sana. Sepertinya akan banyak yang bisa kuceritakan padamu nanti.

Aku ingin menikmati waktu minum teh di Inggris. Seperti yang dulu sering kita lakukan, minum teh sore-sore sambil menikmati gorengan tak bergizi.
Aku rindu gorengan khas Indonesia.
Aku juga rindu obrolan tak penting kita saat minum teh sore-sore.
Obrolan tak penting dalam bahasa Inggris campuran, sambil berpura-pura bahwa kita bangsawan Inggris dan masih bersaudara dengan Ratu Elizabeth.

Nanti kita minum teh bersama lagi ya. Meski yang kau minum secangkir kopi.
Kau ajak dia, yang entah siapa belum kukenal.
Aku pun akan mengajak dia.
Dia siapa?

Pun belum saatnya kau tahu.


February 9th,
Cold Afternoon.

Friday, February 7, 2014

Sekadar Mengingat

Bets, I just downloaded that "Kereta Malam" like you told me to in your letter.
Astaga, itu lagu apa?
Asing di telinga, tapi membuat goyang-goyang kepala saat didengar.
Aku jadi kangen Indonesia.

Kangen rumah.
Kangen teman-teman di sana.
Kangen kamu pun.

Kangen masa lalu?
Hehe... aku selalu mengingat masa lalu, tetapi sekadar mengingat, tanpa rindu.
Bukannya tidak menghargai apa yang sudah terjadi. Hanya saja, masa lalu lebih sering membuatku gundah.
Kisah pahit di masa lalu, tak ada gunanya dirindukan.
Kisah bahagia di masa lalu, tak akan bisa lagi diulang.

Seperti katamu.
Seindah apapun, masa lalu yang direka ulang, tak akan seindah yang dulu.

Tapi aku ingin memperbaiki apa yang kurusak di masa lalu.
Dengan kisah baru, bukan reka ulang.

Termasuk kisahku denganmu dulu.

Sambut aku jika saatnya tiba.


February 7
— a week before Valentine

Wednesday, February 5, 2014

Sebelah Penopangmu

Morning, Bets...
Aku menulis surat balasan ini pagi-pagi, tak lama setelah aku terbangun dan bengong-bengong saja. Bingung kenapa aku bangun sepagi ini. Padahal hari ini aku tidak ada rencana apa-apa. Semua barang yang akan kubawa, sudah aku kemasi. Sebagian kujual ke teman-teman. Sebagian lagi kuberikan gratis saja ke rekan-rekan sesama mahasiswa Indonesia.

Sebenarnya aku sempat berniat pulang dulu ke Indonesia, tapi aku khawatir kalau sudah di sana, aku jadi malas berpergian lagi. Makanya kuputuskan untuk langsung jalan-jalan saja.

Terdengar enak ya? Aku jalan-jalan melulu? Aku menabung sih, rela hidup prihatin di sini, demi impian menyinggahi Eropa. Yah, meskipun nanti jalan-jalan pun aku jalani dengan sangat sangat hemat. Jalan-jalan yang akan literally benar-benar "jalan".

Oh iya, bicara tentang jalan-jalan, jadi ingat kau mengistilahkan kita sebagai sepasang "kruk". Kau tahu, aku jadi ingat lirik lagunya "Phillips Phillips" yang berjudul "Gone, Gone, Gone". Liriknya begini:

"You're my crutch when my legs stop moving."

Yang aku ingin tahu, apakah selepas kepergianku, kau bisa kembali berjalan?


February 5th
— Your once half crutch.

Sunday, February 2, 2014

Secangkir Juga Untukku

Hi, Bets...

Terima kasih sudah membalas suratku. Aku senang kau memutuskan untuk kembali bertegur sapa denganku, meski hanya lewat tulisan.
Aku mengerti bahwa untuk kembali menerima aku ke kehidupanmu itu tidak mudah. Aku, si orang hilang, tiba-tiba saja datang lagi. Kau bisa saja mengacuhkan aku, tapi kau tidak melakukannya. Ternyata kau masih sama dengan yang dulu kukenal.

Masih jadi penikmat kopi? Kau benar-benar tidak berubah ya. Aku dari dulu hingga sekarang masih tidak terlalu menikmati kopi. Di Jepang, itu bukan masalah, kau ingat kan kalau aku memang lebih suka minum teh. Itu satu dari sekian ketidaksamaan kita.

Ketidaksamaan. Lucu ya, aku ingat dulu kau sering mengkritik aku karena aku sering menggunakan istilah negatif dalam berbahasa. Entahlah, aku bisa saja bilang "perbedaan", bukan "ketidaksamaan", tapi aku tanpa sadar menggunakan istilah negatif. Kata "tidak", dan "bukan" adalah 2 kata yang tanpa sadar seiring waktu jadi kata favoritku.

Lucunya lagi, aku menyadari hal itu saat "tidak" dan "bukan" tak lagi hanya sekadar kata yang kugunakan. Keduanya seolah menjadi karakterku. Iya, mungkin kau pun tahu itu. Sebelum aku pergi, berulang kali aku mencoba membuang pikiran-pikiran negatif bahwa kita tidak sama; bahwa kita bukan untuk bersama.

Tapi, aku sadar, bahwa menyimpan ragu itu pertanda. Sebelum apa yang kita jalani jadi semakin tidak menyenangkan, aku memilih untuk mundur. Sebelum aku menyakitimu lebih dari yang bisa kau tahan, aku pergi.

Kenapa aku ragu? Itu masih rahasia, antara aku dan prinsipku.

Aku bicara terlalu banyak ya? Maaf.
Oh iya, terima kasih telah memperjelas kabar yang kudengar.
Aku bahagia.
Bahagia membayangkan akhirnya namaku tertulis di undangan itu.

Kopimu sudah dingin? Buatlah secangkir lagi, yang hangat.
Buatkan secangkir lagi untukku, kurasa aku sedang ingin menikmati kopi.
Kabari aku lagi, Bets...



3 Februari — Masih di Tokyo
The wind here is still too strong.


PS: Ini minggu terakhirku di Jepang, weekend ini aku berangkat eurotrip, kau mau oleh-oleh apa?