Friday, September 28, 2012

Dalam Hati Menjerit



Cc:

Subject: Along Came Petrichor

Selamat sore, pecinta hujanku.
Apa kabar mendung di sana? Sudahkah gelapnya awan perlahan terbias pancaran matahari? Masih tersisa kah basah di bumi selepas diterpa rintik air jatuh tak terhitung dari langit? Bagaimana dengan manisnya wangi tanah dan dedaunan basah, sempat tercium kah olehmu?

Pecinta hujanku, apa kabarmu?
Di sini, di kotaku, saat ini, saat kutuliskan ini, hujan masih saja turun.  Hujan yang seperti biasa, menjadi inspirasi terbesar ku untuk mengunggah emosi dalam bentuk verbal.  Hujan dan segala momen sentimental yang ia bawa dalam rupa kenangan dan harapan, sejak dulu, sedang dan akan datang. Hujan yang tak pernah gagal menggali memori, tentang kita, tentang cinta, tentang dua.

Pecinta hujanku, masih ingat “kita”?
Dulu, kita sempat berpikir bahwa suatu hari akan ada “kita”.  Dulu kita sempat berharap bahwa nanti di masa depan, “kita” bukan lagi sekedar harapan.  Dulu, aku menyelipkan “kita” di setiap khayalku. Tapi, seperti biasa, khayalan hanya berakhir di batas semu dan nyata.  Mungkin aku kurang berusaha terlalu keras, atau mungkin juga kamu yang tak sanggup mencoba ikhlas.  Kita perlahan melupakan “kita”.

Pecinta hujanku, masih ingat “cinta”?
Obrolan-obrolan dalam pesan teks tiap malam yang membuat jari-jari kita kaku, mengawali kedekatan kau dan aku. Ingat itu? Berbagi cerita lewat telepon hampir tiap tengah malam yang membuat kita merasakan seperti apa insomnia, membuka pintu hati masing-masing kita. Ingat kah kamu?  Tatapan mata, sentuhan-sentuhan lembut, bermain dengan jari-jemari, mewakili cinta yang masih malu-malu mengintip dari balik pintu hati. Cinta, rasa yang begitu istimewa, hingga luapan emosi saat kita saling menangisi dan menyakiti satu sama lain pun, itu cinta.  Cinta yang hadir tak terduga hanya karena kita berada di tempat yang sama, di waktu yang tepat, berdiri bersisian dengan separuh hati masing-masing.  Aku memang tak terlalu bisa menjelaskan cinta lewat deretan aksara.  Aku takut cinta akan hilang makna jika kutuangkan lewat puitisnya kata.  Yang kutahu, setiap aku melihatmu, memandangmu, atau memikirkanmu, aku merasakan cinta.  Cinta yang sederhana saja, yang tak pernah butuh alasan, karena selama yang kurasa nyata, cinta lah yang menjadi alasanku menantang semesta.

Pecinta hujanku, masih ingat “dua”?
Kamu pernah berkata, kita adalah dua. Dua hati, dua jiwa, dua raga.  Dua hati, yang tak pernah bisa diatur.  Hatimu yang menolak saat aku datang menawarkan hati.  Hatimu yang kemudian kehilangan saat aku terluka dan melangkah pergi membawa serpihan hati. Hatimu yang akhirnya menyadari, bahwa pada hatiku lah kamu terlambat tertambat.  Dua jiwa, yang putus asa.  Kamu dan aku, jiwa-jiwa yang sempat berharap menemukan belahannya pada diri masing-masing kita.  Hanya saja, jiwamu dan jiwaku, mungkin berbeda zona waktu. Saat jiwaku menemukanmu, jiwamu sedang entah dimana. Saat jiwamu menemuiku, jiwaku tak lagi di tempat semula.  Dua raga, kamu dan aku. Kita adalah dua orang yang sama-sama saling tidak percaya diri, namun mencoba untuk saling meyakini satu sama lain.  Kita, sepasang raga yang lemah, namun cukup kuat untuk percaya, bahwa ketidakbersamaan pun layak dikenang.

Pecinta hujanku, masih kah kau mengenangku?
Mengenang tiap langkah yang kita jalani berdua menuju asa yang ternyata bahkan tak ada. Kenangan yang mungkin akan selalu tersimpan dalam ingatan karena kita terlalu mencoba melupakan. Kenangan yang diawali dengan perkenalan sederhana, lalu jatuh cinta, hanya untuk berbesar hati dan berkompromi dengan situasi, bahwa pada akhirnya kita tidak bisa bersama.

Pecinta hujanku, masih sama kah rasamu?
Meski apa yang kau rasa sudah berbeda, aku dan cintaku tak pernah benar-benar pergi. Aku tak perlu merasa harus berhenti mencintai. Aku hanya perlu belajar merasa terbiasa mengenang sisa cinta, rasa yang hanya sekadar “kapan”, bukan “jika”.

Pecinta hujanku, maaf kalau aku tak pernah mengucap maaf. Sekadar maaf tak akan pernah cukup membuat penyesalan datang tepat waktu.  Meski sesal tak datang terlambat, kepedihan yang dibawa seiring hadirnya akan tetap sama.  Mungkin suatu hari, saat kita benar-benar tak saling bertegur sapa lagi, kau akan percaya, bahwa separuh hatimu akan tetap ada di tempatnya, di paruh hatiku, tanpa perlu kuucap maaf.  Aku tidak pernah salah, sayang.  Aku mencintaimu, tanpa salah.

Pecinta hujanku, ingat hatiku saat gerimis, kenang jiwaku di hujan badai, temui ragaku di manisnya aroma kala dan selepas hujan.

Pecinta hujanku, bila suatu hari kamu merindukanku, cari aku di antara janji yang sempat kutepati, ada aku di sana.

Pecinta hujanku, jangan pernah lelah percaya pada dustaku. Hari ini aku berhenti mencintaimu.


September 28
― your petrichor’s addict


SEND | SAVE AS DRAFT | CANCEL

***

Hujan sudah reda.  Tangisan tanpa air mataku tak lagi menyesakkan dada.  Hujan itu air mataku, mencoba ikhlas ini sedu sedanku. Ini akan jadi isak tanpa suara terakhirku. Aku bukan sedang bersedih, aku hanya berbesar hati.

It’s a good thing tears never show in the pouring rain.  The tears I never shed, from my last cry.


Klik
SAVE AS DRAFT.

Clicked!

No comments: