Kepada: Juara I English Speech Contest
Hey, I never met you, and this is crazy. But here’s my letter, read it maybe?
Kita mungkin belum pernah bertatap muka secara langsung, tentu saja
kamu tidak kenal aku. Aku pun tidak mengenal kamu secara personal. Aku
bahkan lupa namamu, dan wajahmu pun hanya samar-samar kuingat. Aku hanya
pernah mendengar cerita tentangmu; seorang pelajar yang dikenal pandai
serta sering menjadi juara di berbagai lomba antar sekolah. Lantas,
bagaimana aku bisa tahu tentangmu?
Aku mengenal keberadaanmu dari seorang Tukang Jahit yang aku tidak
ingat namanya. Seorang Tukang Jahit yang aku temui di suatu sore saat
matahari mulai bersinar lemah dan terpaksa mengalah pada gelapnya malam
yang menyeruak tak sabar. Dia tinggal di rumah kecil dalam gang sempit
tepat di sebelah kiri masjid dekat tempatku mengajar. Rumah kecil itu
berteras sempit, dan di dinding depannya ada plang kayu sederhana putih
kusam dengan tulisan “Vermak Jins” berwarna merah luntur.
Beberapa anak kecil yang berkumpul di teras menyambut kedatanganku,
kata mereka, bapak tukang jahitnya sedang sholat Maghrib. Aku
dipersilakan menunggu di ruang tamu rumahnya yang nampaknya juga
berfungsi sebagai tempat dia bekerja. Kulihat ada 2 mesin jahit usang di
situ. Di seberang ruangan, ada lemari kaca berisi piala-piala. Aku
beranjak mendekat, tertarik ingin tahu piala-piala apakah itu. Kubaca
tulisan di bagian bawah masing-masing piala. Hampir semuanya piala hasil
lomba antar sekolah, ada yang tingkat kota, ada yang tingkat provinsi.
Lomba pidato Bahasa Inggris, lomba baca berita, lomba Scrabble, dan
beberapa lomba mata pelajaran lainnya khas pelajar SMA. Predikatnya pun
bermacam-macam, ada yang juara pertama, kedua, ketiga, sampai juara
harapan. Ada satu piala yang menarik perhatianku, piala bertuliskan
“First Winner of Speech Contest Economics’ English Club 2011”.
Seingatku, aku menjadi salah satu juri dalam lomba tersebut.
Aku mengalihkan pandangan ke dinding di sebelah kanan lemari kaca
itu. Di sana tertempel beberapa piagam dan foto. Piagam bertuliskan hal
yang sama seperti piala-piala dalam lemari kaca. Piagam penghargaan
menjuarai berbagai lomba antar pelajar sekolah. Tertulis nama seseorang
di situ, nama yang hanya kubaca sekilas. Kemudian kupandangi beberapa
foto yang menempel di dinding yang sama. Ada foto keluarga, foto
sekumpulan pelajar berseragam SMA, foto seorang pelajar laki-laki
memegang piala dan piagam, dan foto yang paling besar: foto seorang anak
laki-laki berusia sekitar 17 tahun-an yang berwajah ramah dan
menyenangkan, tapi tidak kukenal sama sekali. Aku mencoba
mengingat-ingat apakah pernah aku menilai penampilan anak laki-laki itu
dalam suatu lomba pidato, tapi sama sekali tidak terbayang olehku.
Tak lama, tukang jahit yang kutunggu keluar menemuiku. Seorang bapak
paruh baya yang masih mengenakan sarung dan peci, dan wajahnya tampak
lelah dan tak bersemangat. Dia tersenyum tipis saat menanyakan
keperluanku. Saat urusan jahit-menjahit selesai, aku iseng bertanya.
Bukan iseng sebetulnya, tapi memang penasaran. Aku ingin tahu apakah
anak lelaki dalam foto di dinding adalah pemilik para piala dan piagam
kemenangan di berbagai lomba itu.
“Ini piala-piala siapa, Pak?”
“Anak saya, dia sering dikirim oleh sekolahnya untuk ikut lomba
Bahasa Inggris, dan selalu dapat juara.”, jawab bapak tukang jahit itu
dengan ekspresi wajah yang tiba-tiba bersemangat.
“Oh. Piala yang ini, Juara I Lomba Bahasa Inggris, ini kalau tidak salah saya jadi jurinya lho.”
“Oya? Kebetulan ya.”
“Anak Bapak yang ini ya?”. Aku menunjuk ke foto pelajar SMA di dinding itu.
“Iya. Itu dia, waktu masih SMA.”
“Oh… Saya sih tidak ingat wajahnya. Hebat ya, banyak sekali piala dan piagamnya, selalu jadi juara. Sekolah di mana, Pak?”
“Di SMK 2. Dia pintar, dan rajin belajar juga. Anaknya baik-baik
sekali. Merokok pun tidak.”. Sang bapak menjawab sambil tersenyum.
Saat itulah aku mengenalmu untuk pertama kalinya, meski sekarang aku
lupa namamu, dan juga lupa wajahmu. Yang kuingat adalah betapa bangga
ayahmu akan dirimu. Ekspresinya saat bercerita tentangmu menggambarkan
hal itu. Terlihat jelas bahwa beliau sangat mengasihimu. Aku pun yakin
bahwa kamu juga sangat sayang pada ayahmu.
“Sekarang dia udah lulus ya Pak? Lanjut kuliah di mana?”. Aku kembali
bertanya pada ayahmu, sambil sedikit berharap semoga kamu mendapat
beasiswa sehingga tidak terlalu membebani orang tuamu.
Ayahmu tersenyum sambil memandang fotomu di dinding, kemudian menjawab pertanyaanku sambil menghela nafas.
“Itulah ya, Mas. Anak baik-baik biasanya malah cepat dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa. Dia berpulang sebelum sempat lulus sekolah.”
Aku terdiam. Ayahmu pun terdiam.
Sampai hari ini, setiap kali aku melewati gang sempit sebelah masjid
dekat tempatku mengajar, aku masih sering mengingat kisah ayahmu dan
anak lelakinya: kamu. Aku tidak tahu persis pelajaran apa yang bisa
kuambil dari perkenalanku dengan ayahmu dan dirimu. Aku hanya bisa ikut
merasa bangga akan dirimu, seperti ayahmu. Hanya saja, kita tidak sempat
berkenalan.
Nice to know you, even if we never met. You know you win, and life doesn’t give you a chance to lose.
Salam kenal, hai Juara.
16 Januari
― si pengajar yang sok akrab