To The 10-years-ago Me.
It’s been 10 years. Do you remember? That day. The exact day like
today. The day that marked the first time I fell for someone for the
first sight. The day that I’ve considered as the first time I had a
puppy love. That day. It was exactly raining like this afternoon. A
drizzle that was enough to make me cold and wet, but still comfortable
enough to have my skin exposed to the soft falling raindrops.
Hari itu, aku berdiri di perempatan jalan samping sekolah, persis di
sebelah gerobak mie ayam yang biasa mangkal di situ. Bukan tanpa alasan
aku berdiri di situ, aku sedikit basah dan kedinginan oleh gerimis yang
turun sejak bel tanda pulang sekolah berdentang, berdiri di sebelah
gerobak dengan kompor yang menyala di dalamnya cukup untuk menghangatkan
badanku. Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa siswa berdiri di bawah
atap gapura gerbang sekolah, mungkin menunggu jemputan. Tiba-tiba
seorang gadis berseragam putih abu-abu berdiri di sebelahku, menggeser
payung yang dipegangnya hingga menutupi kepalaku. Kami berdua berdiri
sangat berdekatan hingga saling bersentuhan siku. Aku menoleh ke
arahnya, kemudian perlahan-lahan seperti dalam adegan gerak lambat, dia
pun menoleh kepadaku. Kami saling bertatap mata beberapa detik, lalu
saling melempar senyum. Cantik, pikirku. Rambutnya yang sebahu sedikit
lepek karena terbasuh oleh air hujan. Kemudian dia menoleh ke depan,
menatap ke arah mobil yang tak henti lalu-lalang di perempatan yang
ramai itu. Aku ikut memalingkan muka sambil tetap tersenyum, salah
tingkah dan bingung harus berbuat apa. Ingin berbasa-basi, tapi tak
terpikir olehku kata-kata apa yang sebaiknya kuucapkan. Bicara tentang
cuaca? Kami sama-sama sedang kehujanan, sudah jelas berbicara tentang
cuaca hanya akan jadi basa-basi tak menarik. Antara bingung dan gugup,
tanpa sadar aku menepuk-nepuk kedua tanganku bergantian di atas saku
celana dalam ketukan teratur, sambil menggumamkan lagu “Quit Playing
Games”-nya Backstreet Boys dengan tidak jelas. Dia menoleh dan
memandangku sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang berderet
rapi, lalu dia tertawa cempreng. Benar-benar cempreng hingga membuatku
berhenti bersenandung. “Kok berhenti? I like that song.”, dia akhirnya
bersuara. Suara yang sama sekali jauh dari yang kubayangkan. Aku sama
sekali tak menyangka kalau seorang gadis secantik dia ternyata suaranya
sangat cempreng, melengking dan sepertinya selalu menggunakan nada
tinggi saat berbicara. Aku tersenyum kecut, tak mungkin aku bilang aku
berhenti bernyanyi karena kaget mendengar suaranya. “Enggak apa-apa.
Malu ah hehehe…” jawabku sambil tersenyum. Dia ikut tersenyum, lalu
kembali memandang ke arah jalanan yang ramai. Aku yang masih salah
tingkah ikut-ikutan memandang ke jalan, lalu mengalihkan pandanganku ke
atas, ke payung di atas kepalaku. Aku baru sadar kalau payung itu
berwarna hijau kebiruan dengan motif gambar Mickey Mouse yang tampak
lebih gendut dan berhidung lebih panjang, tidak mirip seperti Mickey
Mouse di produk-produk bergambar original Disney yang berlisensi resmi.
Gerimis masih turun, tidak mereda namun juga tidak makin deras. Kami
masih saling diam. Tiba-tiba dia menyenggol tanganku dengan sikunya
sambil berkata, “Yuk nyebrang, sampai kapan mau nunggu hujan reda di
sini?”. Dia mulai bergerak maju, melangkah ke arah jalanan yang tetap
ramai oleh kendaraan. Aku kaget, tapi refleks mengikutinya. Kami
menyeberang pelan-pelan, aku merentangkan tangan kananku ke arah mobil
dan motor yang sepertinya sama sekali tak mau memperlambat laju mereka.
Ketika sudah hampir sampai di seberang jalan, ada sebuah mobil dari
arah kiri jalan dengan pengemudinya yang baik hati memperlambat lajunya
agar kami bisa terus menyeberang. Setelah berjarak agak dekat, mobil
itu berhenti, mempersilakan kami melewatinya. Tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara ledakan yang cukup keras, kami menoleh ke
belakang dan terdiam. Ternyata kompor di gerobak mie ayam tempat kami
berdiri semenit yang lalu meledak dan membakar gerobak kayu itu. Aku
gemetar, tak sanggup membayangkan yang terjadi apabila kami masih
berdiri di sana. Kami termangu di tengah jalan memperhatikan gerobak
yang mulai terbakar api, tukang mie ayam yang panik dan histeris melihat
gerobaknya terbakar, serta warga sekitar yang langsung bergegas
berusaha memadamkan api. Kami masih berdiri diam di tengah jalan, di
depan mobil yang pengemudinya juga terlihat kaget dan bengong melihat
kejadian itu. Kemudian tak disangka-sangka, dari balik mobil itu melaju
sebuah motor dengan kecepatan yang cukup tinggi menyalip mobil
tersebut, melaju ke tempat kami berdiri. Sama-sama kaget, pengemudi
motor itu cepat-cepat mengerem, namun dia malah kehilangan keseimbangan
dan masih dengan kecepatan tinggi meluncur ke arah kami. Semua terjadi
begitu cepat, tanpa tahu apa yang terjadi tiba-tiba aku merasakan
dorongan yang cukup kuat di belakangku hingga aku tersungkur ke depan
dan jatuh ke trotoar seberang jalan. Kaget, namun dengan cepat aku
teringat semuanya, segera aku menoleh ke belakang. Kulihat gadis itu
berdiri dengan payung mengembang diarahkan kepada motor yang miring
hampir mengenai tanah namun tidak sampai jatuh karena tertahan kaki sang
pengendara. Beberapa orang mendekati kami, memastikan bahwa kami tidak
apa-apa. Kendaraan memadat dan bunyi klakson bergantian memekik akibat
ulah para pengemudi yang tidak sabar dan mungkin heran kenapa tiba-tiba
ada kemacetan di situ. Pengendara motor itu, seorang karyawan
perusahaan pembiayaan kredit motor di dekat sekolahku, sibuk meminta
maaf kepada kami berdua. Beberapa orang ikut sibuk memarahi dia.
Seorang bapak membantuku berdiri, sambil menggumam prihatin, sibuk
mengusap-usap seragamku yang kotor terkena noda tanah. Kulihat gadis
cantik yang tadi menyeberang bersamaku sekarang berdiri sedikit gemetar
tak jauh di sebelahku, seorang ibu sibuk menenangkannya. Sukurlah, dia
tidak apa-apa, batinku. Aku mendekatinya, “Tidak apa-apa kan?”. Dia
menoleh, “Tidak kok. Kaget aja. Kamu gak kenapa-kenapa juga kan?”. Aku
tersenyum lega dan menggangguk.
Kurang dari 10 menit kemudian, warga yang tadi berkerumun satu per
satu mulai kembali ke tempat aktivitas mereka masing-masing. Api di
gerobak mie ayam pun sudah berhasil dipadamkan. Kami berdua masih
berdiri di trotoar seberang jalan. Dia masih terlihat agak pucat,
kemudian memandangku, mencoba tersenyum. “Kita selamat ya, syukurlah…
Sesaat aku kira tadi sudah waktuku untuk pergi ke surga.”, dia berkata.
Aku mendengarkan dan tanpa sengaja tertawa, “Hahaha…suara kamu kok
beda? Gak terlalu cempreng lagi?”. Sedetik kemudian aku menyesal dan
berharap waktu berputar kembali, sedikit saja asalkan cukup bagiku untuk
mencegah kalimat tadi terucap dari bibirku. Wajahku memerah karena
malu dan cemas, kupikir dia akan tersinggung. Tapi tiba-tiba kudengar
suara tertawa yang cempreng, “Hihihi…memang suaraku begini, makanya aku
tadi gak ikutan nyanyi saat kamu bersenandung lagu Backstreet Boys.”.
Dia terus tertawa, seperti sedang bahagia, tertawa yang membuat orang
yang di dekatnya merasakan apa yang dia rasakan, tertawa yang
menyebarkan aura positif hingga aku pun tanpa sadar ikut tertawa.
“Terima kasih ya, tadi kamu sempat-sempatnya mendorong aku sehingga aku
terhindar dari ditabrak motor.” kataku kepadanya. Dia tersenyum lebar,
“Refleks. Lagi pula kamu lebih penting untuk tetap hidup daripada
aku.”. Aku mengernyit, “Hah? Maksud kamu apa?”, kataku keheranan. Dia
memandangku dengan serius lalu berkata, “Aku sering melihatmu di depan
sekolah, berdiri di tempat yang sama di perempatan situ. You’re a nice
boy, I can always tell it by the way you greet people around the school.
Penjaga sekolah, satpam, ibu kantin, tukang mie ayam. Sekedar sapaan
sederhana namun cukup untuk membuat orang lain tersenyum basa-basi…”.
Aku diam, tetap heran dan tak mengerti. Lalu dia melanjutkan
omongannya, “Aku tak mengenalmu secara personal, aku hanya tahu kamu.
Begitu juga sebaliknya, kau tak mengenalku. Tapi hari ini, kamu tahu
aku.”. Aku hanya bengong mendengarkan dia dengan seksama sampai
akhirnya aku bertanya, “Nama kamu siapa?”. Dia lagi-lagi tersenyum
lebar, “You will remember me, I know you will. With or without name.”.
Aku menimpalinya, “Of course I will. Now what’s your name? How can I
remember persons without their name? A beautiful girl like you
shouldn’t be embarrassed to tell her name.”. Lagi-lagi dia mengelak
dan berkata: “What makes a person beautiful? It’s when they smile. What
makes a person remembered? It’s when they do something that’s truly
from their hearts.”. Aku baru mau protes ketika akhirnya dia berkata
sesuatu yang membuatku terdiam. “People don’t remember names better.
People remember good deeds.”
I couldn’t help but carving a curve on my face, smiling from ear to
ear. That moment afterward, when she held my hand as we were about to
depart and to continue walking into opposite direction, under the
drizzle she said her last words to me, “I hope heaven is just like
this.”. We held each other’s hand for quite a while. And then we left,
separated, and went our own way.
After that day, I never saw her again. And I didn’t intend to. Her
existence alone had always been enough. I never caught her name, but I
knew for sure, that day, I fell for her. Fell for her deed, something I
would remember my whole life. Until today, she’s been remembered,
alright. Although she has been a mystery to me, she is the reason why
today I can write this letter. The reason why I’m alive. I bet she was
somebody sent from heaven to help me stay alive that day. I hope
heaven is just like what she thought it was.
January 31, 2012
― From the 10-years-later Me.