Sunday, February 5, 2012

Ojek Simpang Sheraton


Kepada Tukang Ojek Ujung Pengkolan
di Simpang Sheraton

Sumpah, ini bukan surat cinta. Ini cuma surat yang dikirimkan dengan sedikit pengharapan, siapa tahu benar-benar sampai padamu. Aku mencarimu bukan karena rindu, tapi karena aku kehilangan. Sungguh kehilangan. Abang ojek yang tak pernah sempat kucari tahu namanya, dimanakah kau sekarang? Tak pernah lagi aku melihat kau mangkal di pangkalan ojek samping kuburan di simpang Sheraton. Kutanya teman-temanmu sesama tukang ojek pun, tak ada yang bisa memberi jawaban. Entah mereka hanya berkata bohong tentang keberadaanmu, atau memang mereka benar-benar tak mengenal dirimu, sungguh aku tak tahu.

Abang ojek yang misterius, seandainya kau tahu bahwa hingga hari ini, masih berputar dalam layar benakku potongan-potongan adegan di malam itu. Saat itu menjelang tengah malam, aku baru saja pulang dari lembur yang melelahkan lahir batin. Benar-benar lelah, dan bertambah lelah karena membayangkan turun dari angkot aku masih harus melanjutkan perjalanan sampai ke rumah dengan berjalan kaki. Aku benar-benar tak berharap bahwa masih akan ada tukang ojek yang mangkal di malam selarut itu, biasanya lewat dari jam 9 malam pangkalan ojek sudah kosong. Karena itu, ketika aku turun dari angkot dan mendapati bahwa ternyata masih ada satu tukang ojek yang mangkal di pangkalan ojek samping kuburan pada jam 11 malam, aku terkejut bercampur senang. It was like, a simple surprise!

Seorang tukang ojek yang memakai jaket hitam bertuliskan “Paguyuban Ojek Simpang Sheraton” sama seperti tukang ojek lainnya dan mengenakan helm warna hijau terang dengan stiker bertuliskan “Bad Boy”, sedang duduk di atas motor bebek berwarna hitam dan biru. Bergegas aku mendekatimu dan berkata, “Bang, ke komplek dalam ya!”, tapi kau diam tak menjawab melainkan langsung menghidupkan mesin motor. Aku agak heran dan bingung, apalagi kau juga sama sekali tak membuka helm. Tapi saat akhirnya kau memberi isyarat dengan tangan agar aku segera naik ke motor, aku pun naik saja. Tidak peduli, yang penting dapat ojek! Sepanjang perjalanan, aku mencoba mengobrol denganmu, tapi pertanyaan yang terlontar dariku malah membuatku sendiri bergidik, “Bang, jam segini masih mangkal aja, di samping kuburan lagi. Memangnya gak serem ya?”. Aku agak menyesal menanyakan itu, apalagi saat itu kau tidak menjawab sama sekali. Pikiran-pikiran aneh mulai muncul di benakku, agak merinding. Tapi kutepis jauh-jauh pikiran itu. Hening. Angin malam pun makin kencang. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing. Lengkap sudah membuatku makin merinding. Tidak tahan, beberapa saat kemudian, aku kembali mencoba mengajakmu bicara, “Bang, habis ini lanjut ngojek lagi?”. Kau tetap diam tak menjawab dan hanya memandang lurus ke depan. Aku makin curiga dan merinding. Salah tingkah, kembali aku bertanya padamu, “Bang, kok diam aja sih? Bang? Bang!”. Kau tetap dalam diammu. Aku jadi benar-benar ketakutan saat itu. Benarkah kau seorang tukang ojek? Atau… Aku tidak mau berpikir lebih jauh. Tidak.

Saat itu, tinggal satu belokan lagi dan kami akan tiba di rumahku. Tidak jauh lagi, tapi rasanya aku tak sanggup kalau-kalau apa yang kupikirkan benar. “Ini kan malam Jumat!” pikirku saat itu. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti di situ juga, “Bang, stop bang! Di sini. Bang, di sini!”. Namun kau tak langsung berhenti, dan rasanya aku ingin lompat saja. Untunglah belum sempat aku melompat, kau pun menepikan motor di depan tanah kosong dekat rumah. “Kenapa mesti berhenti di sini?” keluhku dalam hati sambil bergegas turun dari motor. Buru-buru aku membuka dompet, kuambil selembar uang dari dompetku lalu kuberikan padamu. Masih dengan diam, tanpa berkata sedikitpun, kau mengambil uang yang kuulurkan padamu. Aku melirik sedikit, membayangkan bagaimanakah tampangmu di balik kaca gelap helm hijaumu itu. Cepat-cepat aku menatap ke arah lain, takut kalau-kalau kau membuka helm dan menampakkan wujud wajahmu yang seram seperti yang tergambar di pikiranku. Setelah sedetik diam, tertangkap oleh mataku tanganmu yang sedang memegang selembar uang yang kuberikan padamu tadi. Astaga! Itu kan selembar uang 100.000, bukan 10.000! Rupanya karena saking ketakutan, aku tadi keliru mengambil uang pecahan 10 ribu dengan selembar uang 100 ribuan yang memang entah kenapa keduanya memiliki warna hampir senada.

Kemudian, semua terjadi begitu cepat. Belum sempat aku bicara dan menukar uang itu, kau pun langsung tancap gas dan kabur secepat-cepatnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan aku yang bengong sepersekian detik. Refleks aku berteriak, “Hey! Bang! Ojek! Hey, tunggu, duit gue! Ojek! Woy balikin duit gue! Setan! Woy…SETAAAAAAAN!!!”. Lupa kalau itu menjelang tengah malam, aku berlari sambil berteriak, “WOY! SETAN LO YA! DASAR OJEK SETAN! BALIKIN DUIT GUEEEEEE! SETAAAAAAAN! OJEK SETAN!”

Namun semua sia-sia, kau sudah menghilang entah kemana. Yang kuingat, aku hanya memandang dalam gelap sambil melangkah gontai menuju rumah. Pasrah kehilangan seratus ribu rupiah. Sampai hari ini, sudah cukup sering aku berusaha bertanya dan mencari tau keberadaanmu. Tapi semuanya nol. Sia-sia saja. Berat rasanya bila aku harus ikhlaskan saja uang itu, aku benar-benar merasa kehilangan.

Tukang Ojek Setan dimana pun kau berada, semoga surat ini sampai padamu. Ini usahaku terakhir. Kalau memang kita tidak bertemu lagi, mungkin uang itu memang rejekimu. Ingat, aku mengirim surat ini padamu bukan karena aku rindu padamu, bukan juga karena aku kehilanganmu. Tapi karena aku kehilangan uangku. Dasar ojek setan!

January 30, 2012
― Dariku, si Pelanggan Setia “Paguyuban Ojek Simpang Sheraton”

No comments: