Sunday, February 5, 2012

Bandar Lampung: Cerita Usai Hujan


Kepada kotaku.


This isn’t a usual letter of love, this is a group of sentences contains words full of affection and a touch of memorable scenes of a place I dwell in and a person I barely forget.

Pagi ini aku terbangun tidak seperti biasanya; terbangun karena dingin yang rasanya menusuk hingga ke tulang. Dengan cepat bayangan-bayangan acak bergerak di benak, berpindah-pindah dari adegan satu ke adegan lain tanpa kronologis yang jelas, potongan-potongan gambar bergerak bergantian seolah-olah otak sedang menyusun sebuah puzzle bergambar. Kemudian, gambar-gambar acak itu berhenti di satu titik hingga muncul satu ingatan di kepala: “Mana selimutku?”. Namun, setelah akhirnya kudapati selimut yang ternyata jatuh ke lantai, aku malah benar-benar terjaga. Menggigil. Sedikit heran, ada apa dengan cuaca pagi ini? Segera aku berdiri dan berjalan menghampiri jendela, melihat ke arah halaman yang tampak basah. Basah? Hujankah tadi malam? Bergegas aku keluar ke halaman, tanpa alas kaki berjalan di atas rumput halaman yang tak terlalu hijau. Rasanya menyenangkan, sudah lama tidak merasakan tanah yang becek oleh air hujan, dedaunan yang basah entah oleh embun atau sisa hujan semalam. Akhirnya hujan datang. Akhirnya hujan membasuh kotaku lagi. Seolah-olah menghapus kekeringan yang selama ini melanda, seolah-olah membantuku menghapus kesakitan batin yang makin menjadi akhir-akhir ini.

Tanpa sadar, entah sejak kapan, ternyata sekarang aku berdiri di taman tengah komplek perumahan. Beralas sendal jepit hijau yang tadi tergesa-gesa kupakai ketika memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar menikmati pagi. Bangun sepagi ini adalah hal yang langka buatku, biasanya setiap hari aku berjuang bangun pagi demi tiba di kantor tepat waktu, hal yang jarang terjadi padaku tentunya. Tapi hari ini, Sabtu pagi, hari di mana biasanya aku menikmati libur dan bisa bangun siang semauku, aku malah terjaga saat matahari masih malu-malu bersinar kuning kemerahan di ujung timur sana. Tidak biasanya.

Sekali lagi tanpa sadar, ternyata sekarang aku berada di lereng bukit dekat komplek rumah, tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk melihat pemandangan di pesisir kota. Di kejauhan tampak Teluk Lampung dengan warna laut yang berwarna biru kehijauan berkilat karena pantulan cahaya matahari pagi, terlihat juga olehku atap-atap rumah dan gedung-gedung tua di daerah Telukbetung. Ah, ternyata kotaku cukup indah. Sanggupkah aku meninggalkan kota ini? Meninggalkan orang-orang yang aku cintai hanya karena ingin lari dari kenangan menyakitkan? Cukupkah itu menjadi alasan bagiku untuk pergi dari kota ini?

Bandar Lampung, itu kotaku. Bukan Lampung. Selama ini banyak yang keliru mengira ibukota provinsi Lampung adalah Lampung. Mungkin mereka mengira Lampung tak berbeda seperti halnya Jambi dan Bengkulu, di mana nama ibukota sama dengan nama provinsi. Tapi di sini berbeda, Lampung bukan nama kota. Lampung adalah provinsi, dan Bandar Lampung adalah ibukotanya. Kotaku, kota Bandar Lampung. Kota yang sebagian wilayahnya sedang kupandangi saat ini. Orang-orang banyak yang keliru dengan kotaku, sama halnya dengan mereka yang keliru mengira aku tidak cinta kepada kota ini. Salah. Aku lahir dan besar di kota ini, tentu aku mencintai kota ini. Kota yang walaupun kuanggap sebagai kota kecil yang kadang membosankan karena tidak banyak tempat hiburan, tapi ternyata adalah kota terbesar ke-11 di Indonesia. Kota yang kupandang semrawut dan tak punya identitas nyata, tapi ternyata adalah kota yang dianggap menjanjikan di masa depan. Bandar Lampung, kota yang kucintai. Hanya saja, terlalu banyak sudut kota yang mengingatkanku pada kenangan-kenangan, indah dan menyakitkan.

Bagaimana aku bisa tidak mengingat kenangan-kenangan bersama dia setiap aku melewati tempat-tempat kami menghabiskan waktu di banyak suduk kota ini? Restoran di puncak bukit dengan pemandangan kota menghampar tempat kami sesekali makan malam bersama, lembah hijau di mana kami bersama-sama tidak tahu malu berpose nyaris norak demi foto-foto keren untuk di-upload ke facebook, juga alun-alun di tengah kota yang biasa kami datangi hanya untuk sekedar makan jagung bakar di malam hari. Belum lagi kalau aku melewati jalan di lereng bukit pinggir kota tempat kami biasa berpesta makan durian yang baru dipetik dari kebun, atau pantai-pantai di pinggiran kota tempat kami biasa duduk-duduk diam tanpa banyak bicara. Bagaimana aku bisa tidak mengenang ini semua? Cukupkah hal ini menjadi alasan kelemahanku untuk lari dan meninggalkan kota yang kucintai?

Aku tak pernah tau kapan aku bisa memutuskan. Apakah menunggu kenangan-kenangan itu pergi meninggalkanku, atau bertahan demi kota yang aku cintai beserta orang-orang yang aku cintai di dalamnya? Aku tak pernah tahu. Suatu saat, mungkin aku tak lagi berdiam di kota ini, tapi bisa kupastikan, bila pada akhirnya aku benar-benar pergi meninggalkan kota ini, tak ada lagi kenangan-kenangan menyakitkan itu menggangguku.

Aku menikmati hari demi hari yang kujalani di Bandar Lampung-ku. Seperti aku menikmati setiap kenangan indah maupun buruk tentang dia. Aku mencintai Bandar Lampung-ku. Seperti aku mencintai, dia.

Teruntuk hujan pertama setelah kemarau panjang tadi malam: terima kasih telah membasuh kotaku.


Bandar Lampung, musim penghujan awal tahun.
Dariku: Si Pesimis yang Sok Tegar.
― Denny Ed

No comments: