Sunday, February 5, 2012

Heavenly Cempreng Angel


To The 10-years-ago Me.

It’s been 10 years. Do you remember? That day. The exact day like today. The day that marked the first time I fell for someone for the first sight. The day that I’ve considered as the first time I had a puppy love. That day. It was exactly raining like this afternoon. A drizzle that was enough to make me cold and wet, but still comfortable enough to have my skin exposed to the soft falling raindrops.

Hari itu, aku berdiri di perempatan jalan samping sekolah, persis di sebelah gerobak mie ayam yang biasa mangkal di situ. Bukan tanpa alasan aku berdiri di situ, aku sedikit basah dan kedinginan oleh gerimis yang turun sejak bel tanda pulang sekolah berdentang, berdiri di sebelah gerobak dengan kompor yang menyala di dalamnya cukup untuk menghangatkan badanku. Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa siswa berdiri di bawah atap gapura gerbang sekolah, mungkin menunggu jemputan. Tiba-tiba seorang gadis berseragam putih abu-abu berdiri di sebelahku, menggeser payung yang dipegangnya hingga menutupi kepalaku. Kami berdua berdiri sangat berdekatan hingga saling bersentuhan siku. Aku menoleh ke arahnya, kemudian perlahan-lahan seperti dalam adegan gerak lambat, dia pun menoleh kepadaku. Kami saling bertatap mata beberapa detik, lalu saling melempar senyum. Cantik, pikirku. Rambutnya yang sebahu sedikit lepek karena terbasuh oleh air hujan. Kemudian dia menoleh ke depan, menatap ke arah mobil yang tak henti lalu-lalang di perempatan yang ramai itu. Aku ikut memalingkan muka sambil tetap tersenyum, salah tingkah dan bingung harus berbuat apa. Ingin berbasa-basi, tapi tak terpikir olehku kata-kata apa yang sebaiknya kuucapkan. Bicara tentang cuaca? Kami sama-sama sedang kehujanan, sudah jelas berbicara tentang cuaca hanya akan jadi basa-basi tak menarik. Antara bingung dan gugup, tanpa sadar aku menepuk-nepuk kedua tanganku bergantian di atas saku celana dalam ketukan teratur, sambil menggumamkan lagu “Quit Playing Games”-nya Backstreet Boys dengan tidak jelas. Dia menoleh dan memandangku sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang berderet rapi, lalu dia tertawa cempreng. Benar-benar cempreng hingga membuatku berhenti bersenandung. “Kok berhenti? I like that song.”, dia akhirnya bersuara. Suara yang sama sekali jauh dari yang kubayangkan. Aku sama sekali tak menyangka kalau seorang gadis secantik dia ternyata suaranya sangat cempreng, melengking dan sepertinya selalu menggunakan nada tinggi saat berbicara. Aku tersenyum kecut, tak mungkin aku bilang aku berhenti bernyanyi karena kaget mendengar suaranya. “Enggak apa-apa. Malu ah hehehe…” jawabku sambil tersenyum. Dia ikut tersenyum, lalu kembali memandang ke arah jalanan yang ramai. Aku yang masih salah tingkah ikut-ikutan memandang ke jalan, lalu mengalihkan pandanganku ke atas, ke payung di atas kepalaku. Aku baru sadar kalau payung itu berwarna hijau kebiruan dengan motif gambar Mickey Mouse yang tampak lebih gendut dan berhidung lebih panjang, tidak mirip seperti Mickey Mouse di produk-produk bergambar original Disney yang berlisensi resmi.

Gerimis masih turun, tidak mereda namun juga tidak makin deras. Kami masih saling diam. Tiba-tiba dia menyenggol tanganku dengan sikunya sambil berkata, “Yuk nyebrang, sampai kapan mau nunggu hujan reda di sini?”. Dia mulai bergerak maju, melangkah ke arah jalanan yang tetap ramai oleh kendaraan. Aku kaget, tapi refleks mengikutinya. Kami menyeberang pelan-pelan, aku merentangkan tangan kananku ke arah mobil dan motor yang sepertinya sama sekali tak mau memperlambat laju mereka. Ketika sudah hampir sampai di seberang jalan, ada sebuah mobil dari arah kiri jalan dengan pengemudinya yang baik hati memperlambat lajunya agar kami bisa terus menyeberang. Setelah berjarak agak dekat, mobil itu berhenti, mempersilakan kami melewatinya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara ledakan yang cukup keras, kami menoleh ke belakang dan terdiam. Ternyata kompor di gerobak mie ayam tempat kami berdiri semenit yang lalu meledak dan membakar gerobak kayu itu. Aku gemetar, tak sanggup membayangkan yang terjadi apabila kami masih berdiri di sana. Kami termangu di tengah jalan memperhatikan gerobak yang mulai terbakar api, tukang mie ayam yang panik dan histeris melihat gerobaknya terbakar, serta warga sekitar yang langsung bergegas berusaha memadamkan api. Kami masih berdiri diam di tengah jalan, di depan mobil yang pengemudinya juga terlihat kaget dan bengong melihat kejadian itu. Kemudian tak disangka-sangka, dari balik mobil itu melaju sebuah motor dengan kecepatan yang cukup tinggi menyalip mobil tersebut, melaju ke tempat kami berdiri. Sama-sama kaget, pengemudi motor itu cepat-cepat mengerem, namun dia malah kehilangan keseimbangan dan masih dengan kecepatan tinggi meluncur ke arah kami. Semua terjadi begitu cepat, tanpa tahu apa yang terjadi tiba-tiba aku merasakan dorongan yang cukup kuat di belakangku hingga aku tersungkur ke depan dan jatuh ke trotoar seberang jalan. Kaget, namun dengan cepat aku teringat semuanya, segera aku menoleh ke belakang. Kulihat gadis itu berdiri dengan payung mengembang diarahkan kepada motor yang miring hampir mengenai tanah namun tidak sampai jatuh karena tertahan kaki sang pengendara. Beberapa orang mendekati kami, memastikan bahwa kami tidak apa-apa. Kendaraan memadat dan bunyi klakson bergantian memekik akibat ulah para pengemudi yang tidak sabar dan mungkin heran kenapa tiba-tiba ada kemacetan di situ. Pengendara motor itu, seorang karyawan perusahaan pembiayaan kredit motor di dekat sekolahku, sibuk meminta maaf kepada kami berdua. Beberapa orang ikut sibuk memarahi dia. Seorang bapak membantuku berdiri, sambil menggumam prihatin, sibuk mengusap-usap seragamku yang kotor terkena noda tanah. Kulihat gadis cantik yang tadi menyeberang bersamaku sekarang berdiri sedikit gemetar tak jauh di sebelahku, seorang ibu sibuk menenangkannya. Sukurlah, dia tidak apa-apa, batinku. Aku mendekatinya, “Tidak apa-apa kan?”. Dia menoleh, “Tidak kok. Kaget aja. Kamu gak kenapa-kenapa juga kan?”. Aku tersenyum lega dan menggangguk.

Kurang dari 10 menit kemudian, warga yang tadi berkerumun satu per satu mulai kembali ke tempat aktivitas mereka masing-masing. Api di gerobak mie ayam pun sudah berhasil dipadamkan. Kami berdua masih berdiri di trotoar seberang jalan. Dia masih terlihat agak pucat, kemudian memandangku, mencoba tersenyum. “Kita selamat ya, syukurlah… Sesaat aku kira tadi sudah waktuku untuk pergi ke surga.”, dia berkata. Aku mendengarkan dan tanpa sengaja tertawa, “Hahaha…suara kamu kok beda? Gak terlalu cempreng lagi?”. Sedetik kemudian aku menyesal dan berharap waktu berputar kembali, sedikit saja asalkan cukup bagiku untuk mencegah kalimat tadi terucap dari bibirku. Wajahku memerah karena malu dan cemas, kupikir dia akan tersinggung. Tapi tiba-tiba kudengar suara tertawa yang cempreng, “Hihihi…memang suaraku begini, makanya aku tadi gak ikutan nyanyi saat kamu bersenandung lagu Backstreet Boys.”. Dia terus tertawa, seperti sedang bahagia, tertawa yang membuat orang yang di dekatnya merasakan apa yang dia rasakan, tertawa yang menyebarkan aura positif hingga aku pun tanpa sadar ikut tertawa. “Terima kasih ya, tadi kamu sempat-sempatnya mendorong aku sehingga aku terhindar dari ditabrak motor.” kataku kepadanya. Dia tersenyum lebar, “Refleks. Lagi pula kamu lebih penting untuk tetap hidup daripada aku.”. Aku mengernyit, “Hah? Maksud kamu apa?”, kataku keheranan. Dia memandangku dengan serius lalu berkata, “Aku sering melihatmu di depan sekolah, berdiri di tempat yang sama di perempatan situ. You’re a nice boy, I can always tell it by the way you greet people around the school. Penjaga sekolah, satpam, ibu kantin, tukang mie ayam. Sekedar sapaan sederhana namun cukup untuk membuat orang lain tersenyum basa-basi…”. Aku diam, tetap heran dan tak mengerti. Lalu dia melanjutkan omongannya, “Aku tak mengenalmu secara personal, aku hanya tahu kamu. Begitu juga sebaliknya, kau tak mengenalku. Tapi hari ini, kamu tahu aku.”. Aku hanya bengong mendengarkan dia dengan seksama sampai akhirnya aku bertanya, “Nama kamu siapa?”. Dia lagi-lagi tersenyum lebar, “You will remember me, I know you will. With or without name.”. Aku menimpalinya, “Of course I will. Now what’s your name? How can I remember persons without their name? A beautiful girl like you shouldn’t be embarrassed to tell her name.”. Lagi-lagi dia mengelak dan berkata: “What makes a person beautiful? It’s when they smile. What makes a person remembered? It’s when they do something that’s truly from their hearts.”. Aku baru mau protes ketika akhirnya dia berkata sesuatu yang membuatku terdiam. “People don’t remember names better. People remember good deeds.”

I couldn’t help but carving a curve on my face, smiling from ear to ear. That moment afterward, when she held my hand as we were about to depart and to continue walking into opposite direction, under the drizzle she said her last words to me, “I hope heaven is just like this.”. We held each other’s hand for quite a while. And then we left, separated, and went our own way.

After that day, I never saw her again. And I didn’t intend to. Her existence alone had always been enough. I never caught her name, but I knew for sure, that day, I fell for her. Fell for her deed, something I would remember my whole life. Until today, she’s been remembered, alright. Although she has been a mystery to me, she is the reason why today I can write this letter. The reason why I’m alive. I bet she was somebody sent from heaven to help me stay alive that day. I hope heaven is just like what she thought it was.

January 31, 2012
― From the 10-years-later Me.

No comments: