Sunday, February 5, 2012

Last Flight Out; Anniversary Sakit Hati 2

January 28, 2011

Just got your message this afternoon, things are a bit hectic today, sorry for late reply yah. By the way, I actually have waited for any news from you since yesterday, but you didn’t respond to all texts I sent. Got a lot of things to catch up too the whole day, didn’t you hun? It’s okay, I understand. I was, I am, I’ve been just missing you, that’s all. Like you don’t know hehe…

So, you’ll leave with the last flight tonight? Hmmm…actually I have class this 7 pm. Frankly, now I’m confused. Bukannya aku mengeluh atau apa sih, tapi seharusnya kamu bilang ke aku dari kemarin-kemarin. Kalau mendadak seperti ini, kan aku yang repot. Baru saja aku selesai mondar-mandir untuk mencari siapa yang bisa menggantikan aku masuk kelas nanti malam, dan itu agak sulit lho. Jarang ada yang bisa (dan mau) menggantikan kalau mendadak begini. Untunglah akhirnya ada yang bersedia, jadi nanti malam aku bisa jemput kamu di bandara.

Dear mine, I thought you wouldn’t go home until Sunday. Has the plan changed or what? You hardly replied my texts these couple of days, been so busy I guess. However, knowing you’ll finally come home tonight excites me so! Definitely can’t wait to see you, Mine! Been missing you so much. If every minute I’ve spent missing you were a piece of paper from a great novel, I’d have myself written a masterpiece literature. I’m really looking forward to pulling you to my embrace, and listening to a complete story about your days in the big city.

Anyway, the bell is about to ring in minutes. I’ll be in class until this 7, and after that I’ll be on my way immediately to get to the airport. Keep me informed, especially if you’re about to take off. Have a safe trip, hun. And oh, one more thing: Do you miss me? You have to, because I do miss you. Err…that sound selfish hahaha… Sure, I know you do :))

See you soon, in a few hours!
✗o✗o

________________________________________________________________



January 28, 2012

Kamu.
Tanpa “hai”. Cukup “kamu” saja. Berat rasanya menyapamu. Seberat rasanya mengingat bahwa hari ini, adalah kedua kalinya di bulan Januari aku memperingati 1 tahun dikhianati. Tentu hampir bisa aku pastikan bahwa cuma aku yang merayakannya. Bagimu, mungkin hari ini adalah hari peringatan untuk kejadian yang berbeda. Mungkin hari ini kamu memperingati 1 tahun kamu mengucap salam perpisahan dengan dia, setelah hampir seminggu menghabiskan waktu bersama. Bukankah pada hari ini setahun yang lalu, kamu dan dia saling berpisah lalu berjanji untuk bertemu lagi? Bukankah hari ini setahun yang lalu, dia kembali ke negeri seberang sementara kamu kembali ke kota ini?

Aku masih ingat pertemuan kita di bandara malam itu. Kamu duduk sendirian di bangku kayu di lobby luar bandara, tampak kesepian. Rasanya aku ingin bergegas menghampiri dan memeluk kamu untuk sekedar membangkitkan semangatmu. Saat itu kamu tampak berbeda, tampak gundah dan kehilangan, ingin aku bertanya kenapa, tapi kuyakinkan diriku sendiri bahwa kamu pasti sedang lelah, bukan sedang bersedih. Harusnya aku percaya intuisiku di malam itu. Saat sudah berdua saja di perjalanan pulang dari bandara, kamu tak banyak bicara. Setiap pertanyaanku, kau jawab seadanya saja. Lagi-lagi saat itu aku meyakini diriku kalau kamu sedang lelah setelah melewati perjalanan jauh. Saat aku hendak memegang tanganmu, kamu tampak kaget dan refleks menjauhkan. Saat itu aku heran, sangat heran. Tapi lagi-lagi aku percaya saat kamu bilang kalau kamu cuma kaget. Harusnya aku percaya intuisiku di malam itu.

Aku masih ingat perjalanan kita dari bandara malam itu. Hujan turun. Awalnya gerimis, lalu mulai deras saat kita memasuki kota. Tadinya aku berniat mengajakmu makan malam sebentar, tapi karena melihat kau tampak “lelah” dan juga karena hujan yang cukup deras, akhirnya aku urungkan niatku. Setelah hampir 1 jam perjalanan yang diwarnai obrolan-obrolan canggung dan seadanya, akhirnya kita tiba juga di rumahmu, hujan masih cukup deras. Kita masih berdiam diri dalam mobil yang kuparkir di jalanan depan rumahmu, menunggu hujan reda. Aku ingat saat itu aku bertanya padamu: “Kamu kenapa? Kok beda?”. Kamu cuma jawab: “Gak ada apa-apa kok, capek aja. Beda apanya sih?”. Aku pun diam, dan dalam hati bicara ke diriku sendiri, “Iya, kamu pasti cuma capek. Aku saja yang sensitif.”. Waktu itu aku mencoba yakin bahwa mungkin semua hanya karena aku yang terlalu sensitif akibat rindu terpendam yang lama tak tersampaikan. Hingga terjadi sesuatu yang akhirnya membuat pikiran yang kuyakini itu runtuh dengan sendirinya saat telepon genggammu berdering. Sempat terlihat dari sudut mataku, sederet nomor dengan kode wilayah yang tampak asing muncul di layar telepon genggammu. Sempat juga kulihat ekspresi wajahmu yang terkejut bercampur panik. Kemudian saat akhirnya kau menjawab panggilan telepon itu bukan dalam bahasa Indonesia, aku tahu kalau aku patut curiga. Lebih-lebih saat akhirnya kau membuka pintu mobil dan bergegas pamit sambil sibuk berbicara di telepon dan menurunkan tas beserta barang-barang bawaanmu yang lain dari bangku belakang dengan terburu-buru, aku tahu kalau ada sesuatu yang salah. Saat itu hujan masih cukup deras, tapi kamu berkeras keluar dari mobil. Demi sebuah percakapan di telepon yang aku tahu pasti kalau kamu tak ingin aku mendengarnya. Hingga akhirnya kamu mengucap pamit dan terima kasih kepadaku sekali lagi, aku tak ingat apakah aku menjawab atau tidak. Aku cuma ingat bahwa aku cepat-cepat bergegas pergi dari situ dengan kecepatan tinggi, hingga tanpa sadar ternyata aku sudah di jalan raya. Saat itu hujan turun makin deras. Makin deras seolah alam mengerti dan menyesuaikan diri dengan isi hatiku. Dan saat itu aku yakin bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Ada sesuatu yang salah.

Hari ini, genap setahun adegan itu tak henti datang dan pergi dari benakku. Sepotong adegan dari drama yang tak pernah mau kuulang lagi, drama menjemput setambat hati selepas penerbangan terakhir. The last flight out. You go fly, I’m out.

Kamu.
Tahukah kamu bahwa hari ini adalah kedua kalinya di bulan Januari aku memperingati 1 Tahun Dikhianati?

Happy Anniversary sekali lagi, Denny.

No comments: